Rabu, 3 Oktober 2015, tepat saat jam makan siang, saya bersama Henk (B-85), Iim (B-92), Diah (B-86) dan Mona (B-83) bertemu dengan beliau di Lantai 36, Bakrie Tower Epicentrum Rasuna, Jakarta Selatan.
Ditengah kesibukannya dan persiapan keberangkatan ke AS, beliau menerima kami dengan senyuman khas dan wajah yang ceria di ruang kerjanya.
Bobby menamatkan pendidikan di SMP Negeri 111 Jakarta dan SMA Negeri 1 Jakarta angkatan 1986.
“Saya masuk Boedoet terpaksa,” Bobby memulai kisahnya. “Saya anak pertama, jadi harus ikut maunya bapak, karena bapak alumni Boeodoet juga, jadilah saya dipaksa masuk Boedoet,” Bobby melanjutkan.
Sekolah di Boedoet menurutnya memiliki tantangan tersendiri. Sejak masuk sampai awal-awal sekolah sudah sangat menantang. Betapa tidak, masuk dipaksa orang tua. Ia merasa tidak nyaman sejak awal. Begitu masuk sudah dibully.
“Saya dikompasin, mereka minta sama saya, saya nggak kasih, jadilah saya ditabok-tabokin,” cerita Bobby sambil tertawa.
Ia hampir saja memutuskan keluar dari Boeodoet, karena kerasnya perlakuan dan lingkungan di sana. Tetapi ia mencoba untuk bertahan. Seiring berjalannya waktu ia mulai menikmati keberadaannya di Boedoet.
“Karena pindahan dari rayon lain, saya nggak punya banyak teman. Yang pertama saya pikirkan saya harus punya teman yang jagoan atau yang punya teman banyak,” ujar insinyur dari Jurusan Teknik Elektro Universitas Trisakti
“Ketemulah namanya Deni, anak bioskop nasional, yang temennya banyak banget, ada Juki, Babe,” kenang Bobby
Sepanjang kelas satu hingga kelas dua, Bobby lebih banyak menghabiskan waktunya dengan main band dan nongkrong di bioskop nasional. “Saya jarang belajar,” ucap Bobby. “Makanya nilai saya jelek-jelek,” Ia melanjutkan.
Saking jeleknya, saat kenaikan kelas dua, Ia hampir tidak masuk IPA. Ia merayu Pak Didi, Kepala Sekolah saat itu. Pak Didi bilang tidak bisa masuk IPA karena nilai Bobby jelek.
“Fisika 5, Kimia 5, khan Biologi 6 pak,” kilah Bobby saat itu. “Saya bisa diomelin bapak saya pak,” Bobby terus merajuk ke Pak Didi.
Akhirnya, Pak Didi mengizinkan Bobby masuk IPA percobaan.
Selama di IPA percobaan, Bobby masih tetap jarang belajar. Asyik dengan band dan nongkrong di bioskop Nasional. Bahkan saat ambil raport, ia tidak mau diambil oleh bapaknya. Ia suruh tetangganya ambil raport.
Menjelang masuk kelas tiga, ada tes anak berbakat (program ini hanya ada di angkatan 1985 dan 1986, red). Meskipun ogah-ogahan ikut tes, ternyata Bobby diterima dan masuk kelas IPA 16. “Cuma temannya berat-berat semua, kenalnya paling sama Ari,” ujar Bobby
Bobby melanjutkan, “Dikelas khusus anak berbakat, ada anak rohani Islam yang sangat kuat, karena saya suka ribut di kelas, saya disuruh pindah duduk di depan, supaya saya tidak boleh nengok ke belakang. Karena waktu saya dulu, siswa perempuan nggak boleh pake jilbab di kelas, masuk kelas harus dibuka. Jadi ketika mereka buka jilbab, saya tidak boleh nengok ke belakang, jadi kalau ke belakang saya harus nunduk dan menutup mata saya dengan tangan.” Cerita Bobby
“Saya ditempatkan sebangku dengan Saad ketua OSIS, yang juga aktif di kerohanian, waktu itu saya bilang, Ad gue duduk sebangku sama elo, nanti kita lihat elo yang jadi bandel kayak gue atau gue yang jadi ustadz kayak elo,” tantang Bobby saat itu.
“Dari ranking 42 atau 48 gitu di kelas dua, di kelas tiga saya ranking 6, lumayan khan ada progress,” cerita Bobby bangga.
“Pertemanan di Boedoet sangat luar biasa. Sampai hari ini saya masih main sama Deny, Juki, Babe, Aci, Ari, Joko. Pertemanan itu yang tidak saya dapatkan di tempat kuliah,” kata Bobby.
“Satu yang saya suka dari mereka, mereka tidak pernah meminta sesuatu dari saya, dengan posisi saya saat ini, mereka tidak pernah ngomongin uang atau minta kerjaan. Just temen aja. Jadi saya bisa main sama mereka sebagai Bobby, bukan sebagai Presdir Bakrie.” Ucap Bobby
Bakat kepemimpinannya sudah terlihat saat Ia terpilih menjadi Ketua Kelas di IPA 16. Ia dapat menyatukan kelompok-kelompok yang ada dikelasnya. Hingga kini kelas IPA 16 masih solid.
Salah satu kegagalan yang paling membuat dia down adalah, ketika gagal masuk ke ITB. “Masuk Trisakti juga males-malesan, ikut tes ITB lagi tahun depannya, nggak lulus juga,” ucapnya.
Ia sempat aktif di Persatuan Insinyur Indonesia. Di lembaga inilah, Ia berkenalan dengan Pak Ical pemilik perusahaan Bakrie, dan Ketua Umum PII saat itu serta Pak Habibie, Menristek dan Dewan Penasehat PII saat itu.
Sebagai anggota baru di PII, Ia sempat mendapatkan tugas dari Pak Habibie untuk menangani kegiatan yang dihadiri oleh Margareth Thatcer, Perdana Menteri Inggris saat itu, yang juga seorang insinyur dan menjadi anggota kehormatan PII.
Keberhasilan Bobby mengelola acara yang diamanahkan Pak Habibie, membuat Ia diminta bekerja dengan Pak Habibie. Sempat ditawarkan beasiswa oleh Pak Habibie, namun Ia tidak mau terikat. Ia memilih melanjutkan MBA ke AS, dengan beasiswa yang dicarinya sendiri.
“Bahasa Inggris saya dulu dodol (jelek-red)l,” keluh Bobby. Saking jeleknya, bapaknya sampai membuatkan daftar contekan selama perjalanan ke AS. Apa yang harus dia jawab saat ditanya di bandara atau imigrasi.
“Mau ikut bimbingan TOEFL aja, dites dulu, udah gitu nggak lulus,” Ia melanjutkan. Tetapi bukan Bobby namanya kalau tidak banyak akalnya. Saat ikut tes kedua kalinya, Ia mengajak adiknya yang jago bahasa Inggris. Ia menggunakan nama adiknya, adiknya menggunakan nama dirinya. Luluslah Ia untuk ikut bimbingan.
Saat kuliah di AS, Ia mulai sadar, harus lebih serius belajar. Keseriusannya belajar dan kelemahannya dalam bahasa Inggris, memaksanya untuk membaca sesuatu berkali-kali. Ternyata hal tersebut membuat Ia lebih banyak paham tentang suatu pelajaran dibanding kawan-kawannya.
Hasilnya, Ia lulus MBA dari Universitas Arkansas AS dengan predikat summa cum laude dan pernah terpilih menjadi mahasiswa kehormatan di almamaternya
Ketika selesai kuliah dari AS, Bobby disambut tawaran dari pengusaha-pengusaha besar, salah satunya Pak Ical. Pilihannya jatuh pada tawaran menjadi asisten Pak Ical. Itulah awal mula karirnya di perusahaan Bakrie. Sempat diragukan oleh HRD perusahaan Bakrie, namun Pak Ical lebih percaya pada Bobby.
Merintis karir dari bawah dengan gaji pertamanya hanya Rp 1,6 Juta, sangat kecil untuk ukuran lulusan MBA pada masa itu. Karirnya terus melesat mulai dari Management Trainee hingga Direktur unit usaha. Survival Spirit yang Ia dapatkan di Boedoet, akhirnya membawanya menjadi Presdir Bakrie & Brothers di usia yang sangat muda, 34 tahun.
Salah satu prestasinya adalah membawa harga saham Bakrie naik hingga ratusan kali lipat. Dengan segala suka duka dan intrik-intrik politik yang dihadapi perusahaannya, Ia berujar, “dalam hidup itu selalu ada perjuangan, delivery (berikan yang terbaik), kepercayaan dan keberuntungan,” Bobby berpesan diakhir wawancara. (Mulle B-92)
Sumber: ikaboedoet.com
Comments
Post a Comment