Skip to main content

Herman Lantang (SMAN 1'57)


Panggil Gue Bang Herman

Salah seorang putranya memberi pernyataan tentang legenda hidup ini, “Papa adalah papa, orang yang berprinsip, tegas, tapi sering naik darah.”

Pendaki gunung usia muda yang pertama kali berkesempatan bertemu Herman Onesimus Lantang, 67 tahun,  tak ubahnya berkesempatan melihat ”dewa”. Menatap dengan mata berbinar setengah tak percaya, mendekat perlahan, ragu-ragu bertanya dengan suara pelan, ”Pak Herman, ya?”

Tapi begitu yang punya nama menjawab dengan suara mantap namun akrab, ”Ah, iya, gue Herman,” sambil mengulurkan tangan, maka hilang semua rasa sungkan. Laki-laki yang mungkin seusia ayahnya ini ternyata bukan manusia setengah dewa. Dia bahkan tidak menempatkan diri sebagai senior yang sedang berhadapan dengan yunior, melainkan kawan lama yang bersua kembali.

”Jangan panggil ’pak’, tapi panggil gue ’Bang Herman’, biar tidak ada gap. Jangan lihat uban, ompong, dan pincangnya.”

Pertemuan para pendaki usia muda dengan Herman Lantang berlangsung pada peluncuran buku Mountain Climbing for Everybody: Panduan Mendaki Gunung ditulis Harley Bayu Sastha yang juga pendaki gunung, Jumat, 22 Februari malam di Jakarta.

Di tengah gerimis rapat yang membasahi Jakarta, Herman datang berkaus oblong putih, celana kapri abu-abu, dan jaket merah, setengah jam sebelum acara. Sambil menunggu dimulainya diskusi, dia minum teh dan makan makanan kecil sambil berbincang dengan peserta diskusi yang umumnya berusia 20-an dan 30-an tahun.

Mereka adalah generasi yang lebih mengenal Herman sebagai kawan Soe Hok Gie, mahasiswa di paruh akhir tahun1960-an, demonstran yang banyak menghabiskan waktu dengan berkegiatan naik gunung hingga meregang nyawa di gunung pada tahun 1969, dan di tahun 2005, kehidupannya difilmkan dengan tajuk Gie.

Herman Lantang adalah salah seorang pendiri Mapala UI, yang merupakan akronim dari mahasiswa pencinta alam Universitas Indonesia. Mapala UI yang bagian dari kegiatan senat ini diresmikan pada 12 Desember 1964.

Menjadi kumpulan pertama yang menggunakan istilah pencinta alam tak pelak merupakan beban berat bagi Mapala hingga kini. Pasalnya, sudah bukan rahasia lagi jika salah satu ”kegiatan” orang yang pergi ke gunung adalah mengukir nama di pohon dan mencoret batu kali dengan cat semprot. Belum lagi urusan sampah yang menjadikan Gunung Gede sekarang sebagai tempat sampah terbesar di gunung.

”Memang, menyandang nama ’pencinta alam’ tidak mudah. Kami punya beban moral yang berat. Karena itu juga di luar negeri tidak dikenal kelompok nature lovers, yang ada hanya mountain climbers.”

Diceritakannya, saat pertama naik gunung, pada tahun 1950-an, Herman juga membuang sampah di gunung, tidak dibawa lagi turun. Dan ketika pergi kemping lagi beberapa bulan kemudian di tempat yang sama, dia menemukan lagi sampah yang dulu dia buang. 

Itu di tahun 1950-an ketika belum banyak bungkus makanan dari plastik. Plastik sebagai bungkus makanan mulai banyak digunakan pada 1960-an. Dan mulai saat itulah sampah semakin banyak dijumpai di gunung-gunung, hingga saat ini. 

Operasi semut—istilah yang digunakan para pendaki gunung untuk menyebut kegiatan memungut sampah—terus dilakukan dari tahun ke tahun, tetap tak mengurangi banyaknya sampah di gunung, karena setiap pendakian selalu meninggalkan sampah. Itu sebabnya Herman menyarankan agar setiap kelompok pendaki gunung mengagendakan metode tidak meninggalkan sampah di gunung (leave no trash).

”Di Bandung, pernah ada seminar yang tujuannya mencari cara terbaik agar tidak ada lagi sampah di gunung. Seminar itu berlangsung sampai berhari-hari, tapi apa hasilnya? Sampah tetap banyak di gunung. Ngga usahlah seminar. Cukup tanamkan budaya kalau makan permen, kantongi bungkusnya. Ini saya tanamkan ke keluarga saya.”

Menularkan kecintaan pada gunung dilakukan Herman sejak awal kepada istrinya, Joyce Moningka, 55 tahun, dan dua anak mereka, Erol Lantang (24) dan Cernan Lantang (21). Langkah pertama adalah pada sang istri yang bukan ”anak gunung”, karena paling banter piknik ke kawasan pegunungan. Awalnya, Herman mengenalkan Mandalawangi Pangrango, berangkat dari Cibodas.

”Saya kawin telat. Usia saya waktu itu 41 tahun sedangkan istri saya 29 tahun. Beda usia kami jauh sekali, tapi kami sangat mesra sampai sekarang karena ya itu tadi, sering jalan-jalan ke gunung.”


Sewaktu sang istri hamil 3 bulan, Herman kembali mengajak Joyce ke Gunung Gede. Cernan di usia 9 bulan belajar jalan di Gunung Papandayan, di kelandaian kerikil kapur dan belerang. Mendaki Pangrango setiap dua tahun sekali dijadikan tradisi di keluarga mereka.

Memperingati meninggalnya Soe Hok Gie, pada tahun 1989, Herman membawa istri dan si sulung yang berusia 5 tahun ke Semeru, tempat Gie meninggal karena mengirup racun yang keluar dari perut gunung Semeru. Bahkan saat kecelakaan membuat tulang pinggangnya patah dan tulang lutut bergeser sehingga harus disangga batang logam di pinggang dan ia berjalan pincang, Herman tetap naik gunung.

Pada Oktober 2007 dia mengalami kecelakaan, tersandung hingga jatuh saat di Balikpapan terkait pekerjaannya sebagai konsultan lepas di bidang minyak. Namun, tidak menunggu lama untuk istirahat, laki-laki asal Tomohon ini naik gunung lagi. Dalam kondisi kaki pincang, ia daki Gunung Mahawu di Sulawesi Utara. ”Dua minggu lagi saya ke Pangrango. Kuncinya adalah persiapan,” nada Herman mantap.

Persiapan inilah yang menurut Herman seringkali diremehkan para pendaki berusia muda. Ketika ke Gunung Gede yang dianggap memiliki tingkat kesulitan rendah, Herman tetap berpakaian lengkap, yakni baju lengan panjang, celana panjang, bersepatu, dan membawa trekking pole (sepasang tongkat untuk mendaki), sementara itu, tak sedikit ia temui pemuda bercelana pendek dan bersandal gunung saja saat mendaki atau saat turun gunung.

”Saya dan istri bisa terus menikmati gunung sampai sekarang kami sama-sama tua ini karena mendaki dilakukan dengan benar. Naik gunung bukan olahraga yang berbahaya kok.”

Bertanya apa enaknya naik gunung tentu akan mendapat jawaban berbeda antara pendaki yang berusia muda dan pendaki yang sudah makan asam garam macam Herman. Di usianya kini tujuan Herman ke gunung hanyalah untuk merasakan udara bersih. Gunung juga jadi ”tempat berobat” untuk penyakit-penyakit ringan. ”Kalau pilek atau batuk ringan saja, pergilah ke gunung. Begitu turun gunung, pasti sembuh. Di gunung udaranya bersih, bisa menghilangkan penyakit.”

Belakangan ini, perhatian Herman banyak tertumpah ke buku yang sedang digarapnya yang membahas 85 gunung di Pulau Jawa, termasuk gunung-gunung kecil macam Gunung Sanggabuana di Karawang Jawa Barat. Kegiatan mengumpulkan materi ini agak tertahan setelah kecelakaan. ”Sekarang, saya sedang butuh petualang untuk meng-up-date apa yang sudah saya tulis sekaligus menyelesaikannya.” Petualang muda, ada yang mau? (Silvia Galikano)

*dimuat di Tabloid Koktail edisi 24, 6 - 12 Maret 2008*

Comments

Popular posts from this blog

Rute Bus Kota "PPD" Reguler Jaman Dulu

PPD Reguler 10 Jurusan : Terminal Blok M - Terminal Senen. Rute: Terminal Blok M - Radio Dalam - Velbak - Sudirman - Thamrin - Monas - Harmoni - Pasar Baru - Terminal Senen - Tripoli - Pejambon - Gambir - Monas - Dukuh Atas - Thamrin - Sudirman - Pakubuwono - Taman Puring. PPD Reguler 11 Jurusan : Terminal Blok M - Pejambon Rute : Terminal Blok M - Kyai Maja - Barito - Velbak - Pakubuwono - Hang Lekir - Jenderal Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat Raya - Kwini II - Pejambon PPD Reguler 12 Jurusan : Terminal Blok M - Lapangan Banteng Utara Rute : Terminal Blok M - Iskandarsyah - Senopati - Bundaran Senayan - Jenderal Sudirman - Hotel Indonesia - MH. Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - IR. H. Juanda - Jl. Pos - Gedung Kesenian - Lapangan Banteng Utara PPD Reguler 13 Jurusan : Terminal Lebak Bulus - Pejambon Rute : Terminal Lebak Bulus - RS Fatmawati - Wijaya II - Wijaya I - Senopati - Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat ...

Dipl. Ing.Bambang Prayitno Soeroso, Jogya Water Park Bay Sebagai Obyek Wisata Modern Kelas Dunia

Ceria, Cerdas dan Energik, inilah kesan pertama dari Mas  Bambang  Soeroso, alumni SMA 1 Jakarta tahun 1970 saat ditemuwicarai di kantornya di bilangan Bakrie Epicentrum, Jakarta Selatan. Pria yang akrab dipanggil  Bambang  ini lahir dikota Gudeg, Yogyakarta pada 8 oktober 1951. Ia mewakili Propinsi Bengkulu sebagai peringkat pertama dengan perolehan 155.650 (20,56%) suara. Ia menyadari tantangan sebagai anggota DPD. Menurutnya, tantangan itu adalah mendobrak pengebirian peran dan kewenangan DPD sebagai lembaga penyeimbang sistem dua kamar dan sebagai a golden bridge perjuangan aspirasi dan kepentingan masyarakat ditingkat nasional dalam ikut menentukan kebijakan pembangunan daerah secara integral dan berkesinambungan. Di Maguwo, dekat stadion gelanggang olah raga, dan dekat juga ke lapangan terbang Adisucipto, di areal seluas 136 hektar sedang dibangun sebuah Proyek Teluk Taman Air, atau Jogya Water Park Bay, yang luar biasa besar dan megah, menandingi proy...

Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi IKA BTOT 19A

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA ORGANISASI IKATAN ALUMNI BOEDOET TOT 19A (IKA BTOT 19A) ANGGARAN DASAR MUKADIMAH Dengan rahmat Tuhan yang Maha pengasih dan Maha penyayang, serta diiringi kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab sebagai alumni SMA Negeri 1, STM/SMK Negeri 1, ex.STM Negeri 5 (kini SMK Negeri 4), ex.STM PGRI 4 (kini SMK PGRI 10), ex.STM PGRI 5 (kini SMK PGRI 11) dan berdomisili di jalur Bis ex.Patas Mayasari Bhakti 19A jurusan Pasar Baru - Kalimalang. Yang dahulu atau kini sekolah-sekolah tersebut berkedudukan di Jalan Budi Utomo Jakarta Pusat dalam usaha pengabdian kepada almamater khususnya dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka dengan itikad luhur demi terwujudnya cita-cita tersebut, dibentuklah suatu organisasi dengan nama Ikatan Alumni Boedoet TOT 19A. BAB I NAMA, WAKTU dan TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Organisasi ini bernama Ikatan Alumni Boedoet TOT 19A, disingkat IKA BTOT 19A. 2. IKA BTOT 19A d...