Skip to main content

Warung E’Mak Boedoet

Warung E’Mak Boedoet ini ada di Jalan Wahidin II, Jakarta Pusat. Warung E’Mak Boedoet ini memang jadi langganan tempat makan siswa SMA Negeri 1 Jakarta dan SMK Negeri 1 Jakarta. Dulu, tahun 1980, letak warung ini persis di depan SMAN 1 di Jalan Boedi Oetomo, tetapi sejak tahun 1987 pindah ke Jalan Wahidin II.

Warung E’Mak Boedoet ini dikelola oleh Ibu Suhaenah. Buka setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu yang ngikutin jadwal libur pegawai dan murid sekolah. Bu Suhaenah menjual macem-macem makanan, mulai dari nasi, telur, sop iga sapi, tempe, tahu, ayam goreng, ati ayam, hingga gulai ikan mas.

Anggi dan Annisa, siswa SMKN 1 Jakarta, biasanya makan siang sepulang sekolah di Warung E’Mak Boedoet. ”Makanannya enak dan murah. Seporsi nasi atau bihun sama sambal goreng kentang cuma Rp 4.000,” kata Anggi.

Asyiknya nongkrong di Warung E’Mak Boedoet ini, kamu bisa dapat harga pelajar lho. Contohnya, makanan andalan, sop iga sapi dan gulai ikan mas, bisa kamu dapatkan dengan harga pelajar Rp 10.000.

Kalo untuk umum, misalnya pegawai negeri dan swasta yang kantornya di sekitar Warung E’Mak Boedoet, harga untuk mereka Rp 12.000. Teh manis untuk pelajar Rp 2.000, untuk pegawai Rp 3.000.

Harga untuk pelajar lebih murah karena disesuaikan dengan kantong pelajar. Harga murah itu bisa diberikan karena ada subsidi silang dari para pembeli yang notabene pegawai kantoran tadi. ”Enggak apa-apa harga makanan dimurahin buat anak sekolah, yang penting saya enggak rugi,” kata bu Suhaenah.

Menurut bu Suhaenah, dulu tahun 1980-an, siswa-siswa yang suka mampir ke Warung E’Mak Boedoet suka mengemplang. Maksudnya: makan tempe tiga, tetapi ngakunya makan satu. ”Ha-ha-ha, anak-anak itu lucu, tetapi, ya, sudahlah, namanya juga anak-anak,” kenang bu Suhaenah. Kalau anak Bandung soal begitu bilangnya ”darmaji” (dahar lima, ngaku hiji, makan lima, ngaku satu).

Lucunya, setiap kali ada reuni akbar SMAN 1, mereka yang dulu suka nongkrong di tempat Bu Suhaenah pasti menyempatkan diri bernostalgia dengan nongkrong di warung Bu Suhaenah. Bahkan, sampai bikin tenda tambahan.

Untuk ”menebus dosa” zaman dulu, mereka bahkan memberi hadiah kepada Bu Suhaenah. Bahkan, ada alumnus yang lulus tahun 1984 saat reuni memberi hadiah panci presto kepada Bu Suhaenah. Ada yang memberi uang Rp 600.000 dan Rp 250.000, ada yang mentransfer ke rekening tabungan ibu Suhaenah Rp 2 juta.

”Katanya buat bayar utang mereka yang dulu saat ngemplang ha-ha-ha. Sekarang kalau mereka makan di sini, cuma makan habis Rp 15.000, mereka bayar Rp 50.000. Enggak mau terima kembalian. Katanya buat bayar utang zaman dulu,” kata Bu Suhaenah.

SUMBER: http://m.kompas.com/news/read/data/2010.10.01.04491474

Comments

Popular posts from this blog

Rute Bus Kota "PPD" Reguler Jaman Dulu

PPD Reguler 10 Jurusan : Terminal Blok M - Terminal Senen. Rute: Terminal Blok M - Radio Dalam - Velbak - Sudirman - Thamrin - Monas - Harmoni - Pasar Baru - Terminal Senen - Tripoli - Pejambon - Gambir - Monas - Dukuh Atas - Thamrin - Sudirman - Pakubuwono - Taman Puring. PPD Reguler 11 Jurusan : Terminal Blok M - Pejambon Rute : Terminal Blok M - Kyai Maja - Barito - Velbak - Pakubuwono - Hang Lekir - Jenderal Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat Raya - Kwini II - Pejambon PPD Reguler 12 Jurusan : Terminal Blok M - Lapangan Banteng Utara Rute : Terminal Blok M - Iskandarsyah - Senopati - Bundaran Senayan - Jenderal Sudirman - Hotel Indonesia - MH. Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - IR. H. Juanda - Jl. Pos - Gedung Kesenian - Lapangan Banteng Utara PPD Reguler 13 Jurusan : Terminal Lebak Bulus - Pejambon Rute : Terminal Lebak Bulus - RS Fatmawati - Wijaya II - Wijaya I - Senopati - Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat

Sepenggal Kisah Tragedi Boedoet Kelabu 1989

Ini sepenggal kisah pribadi yang terjadi 20 tahun yang lalu di awal bulan Oktober 1989 di jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Bukan bermaksud untuk menguak kembali luka lama yang telah berlalu, tapi ini hanya sebuah cermin bagi generasi-generasi berikutnya untuk lebih menghargai arti sebuah persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa. Sebagai salah seorang siswa baru di SMA Negeri 1, saya termaksud orang yang dapat berbangga hati karena dapat diterima disebuah sekolah favorit yang isinya memang banyak dari kalangan anak-anak borju dan pejabat. Mungkin diantara ratusan murid SMA 1 hanya sayalah yang kere dan tak pernah bisa berdandan rapi. Penampilan saya lebih banyak meniru tokoh novel remaja yang ngetop saat itu, Lupus. Baju selalu dikeluarkan dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Kedua lengan baju digulung walaupun tak berotot, tas dengan tali yang panjang sampai sebatas paha, sepatu capung alias Butterfly dan tak lupa celana abu-abu yang sudah dekil karena sudah semi

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah “Entuh (pertemuan Kali Bekasi dengan Kalimalang / Kali Tarum Barat) dulu, kali prempuan ama kali lakian ga pernah nyatu, baru karang-karang enih aja nyatunya.” (“Itu dahulu, kali perempuan dengan kali lelaki tidak pernah bersatu, baru sekarang ini saja bersatunya”). Begitulah yang digambarkan nenek saya ketika bercerita tentang Kali Bekasi dan Kali Tarum Barat atau sering dikenal dengan nama Kalimalang. Kali Bekasi yang mengaliri air dengan deras meliuk-liuk gagah seperti jalan ular dari hulunya di selatan yang berada di pegunungan di Bogor sampai ke muaranya di laut utara Jawa, diidentikkan dengan sosok laki-laki. Sedang kali buatan Kali Tarum Barat (Kalimalang) yang begitu tenang mengaliri air dari Waduk Jatiluhur di sebelah timur ke barat di Bekasi dan Jakarta, digambarkan dengan sosok perempuan. Menurut cerita nenek, awalnya air Kalimalang dengan air Kali Bekasi diceritakan “ga bisa dikawinin” (“tida