IR. H. SALAHUDDIN WAHID
Lahir: Jombang, 11 September 1942
Agama: Islam
Istri:
Anak: Tiga orang
PENDIDIKAN:
- Institut Teknologi Bandung (ITB)
- Mengikuti berbagai seminar dan Pelatihan Kepemimpinan
PENGALAMAN PEKERJAAN:
- Wakil Ketua Komnas HAM (2002-2007)
- Anggota MPR (1998-1999)
- Penulis lepas pada berbagai media (1998-sekarang)
- Assosiate Director Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996)
- Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik (1978-1997)
- Direktur Utama Perusahaan Kontraktor (1969-1977)
PENGALAMAN ORGANISASI:
- 1957-1961 Kepanduan Ansor
- 1961-1962 Wakil Ketua OSIS SMAN 1 Jakarta
- 1963-1964 Anggota pengurus Senat Mahasiswa Arsitektur ITB
- 1967 Bendahara Dewan Mahasiswa ITB
- 1964-1966 Komisariat PMII ITB
- 1964-1966 Wakil Ketua PMII Cabang Bandung
- 1966-1967 Dewan penurus Pendaki Gunung Wanadri
- 1973-skrng Anggota Ikatan Arsitek Indonesia
- 1988-skrng Anggota Persatuan Insinyur Indonesia.
- 1989-1990 Ketua DPD DKI Indkindo (Ikatan Konsultan Indonesia)
- 1991-1994 Sekretaris Jenderal DPP Inkindo
- 1993-1994 Pemred Majalah Konsultan
- 1994-1998 Ketua Departemen Konsultan Manajemen Kadin
- 1995 Mendirikan Ikatan Konsultan Manajemen Indonesia
- 2002-2005 Anggota Dewan Pembina YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
- 1999-2004 Ketua PBNU
- 2000-2005 Ketua MPP ICMI
- 1995-2005 Anggota Dewan Penasehat ICMI
- 1998-1999 Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Umat
- 1998-1999 Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu PKU
- 2002-2005 Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial
- 2000-skrg Ketua Badan Pendiri Yayasan Forum Indonesia Satu.
- 1993-skrg Anggota Pengurus IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia)
- 1982-1994 Pendiri, Ketua, Angg. Badan Pengurus Yayasan Baitussalam
- 1985, 1999 Pendiri, Sekretaris Yayasan Wahid Hasyim
ALAMAT:
Jalan Tendean No. 2C, Jakarta Selatan.
Sumber dari TokohIndonesia.com
Menimbang Bobot Calon Pendamping
KALAU hati sudah kepincut, hasrat memuncak hingga ke ubun-ubun, plus kepepet waktu, maka pinangan pun langsung disampaikan. Itulah yang dilakukan Partai Golkar kala memilih Salahudin Wahid sebagai pendamping Jenderal (purnawirawan) Wiranto dalam pemilihan presiden. “Saya secara resmi menerima Pak Salahudin menjadi partner Pak Wiranto,” kata Akbar Tandjung, Ketua Umum Golkar.
Kepastian duet Wiranto-Gus Solah –demikian Salahudin biasa disapa– dipastikan setelah keduanya menemui Akbar di rumah dinasnya, kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Selasa petang lalu. Akbar berharap, pasangan ini bisa menguatkan bangunan koalisi antara Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Baik itu dari jumlah pemilihnya maupun dukungan politiknya di DPR. Sehingga nanti jika terpilih, akan tercipta pemerintahan yang kuat dan efektif. “Itulah kira-kira strategi kami,” ujar Akbar.
Sebetulnya, nama Gus Solah tak ada dalam struktur kepengurusan PKB. Sebagai salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), ia terkena “larangan” bahwa pengurus NU tak boleh masuk dalam jajaran partai politik. Namun bukan berarti Gus Solah jauh dari PKB. Dalam setahun terakhir, ia mengaku turut cawe-cawe di PKB. “Walaupun secara tidak langsung,” katanya.
Kala pinangan datang pun, Gus Solah kulon nuwun dulu ke PKB. Khususnya kepada Gus Dur, kakaknya yang juga Ketua Dewan Syuro PKB. Hasilnya lumayan. Ia mendapat izin, walaupun tak dijanjikan dukungan. Lebih baik ketimbang nasib Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, yang sama sekali tak mendapat izin Gus Dur. Setidaknya, lampu hijau dari Gus Dur ini bisa jadi modal dalam membetot suara NU, kantong utama pendukung PKB.
Lihat saja sikap Gerakan Pemuda Ansor, sayap pemuda NU, yang langsung menyokong langkah Gus Solah. Sekaligus menganulir dukungan kepada Hasyim. Menurut Maskut Chandranegara, Wakil Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda Ansor, Gus Solah telah melewati jalur yang benar. Pencalonannya dilakukan melalui PKB, setelah sebelumnya meminta restu Gus Dur.
Selain punya dukungan massa NU, bobot Gus Solah tak bisa dipandang sebelah mata. Bekal intelektualnya didapat dari Jurusan Teknik Arsitektur ITB. Ia juga cukup kaya pengalaman berorganisasi. Semasa mahasiswa, Gus Solah tercatat sebagai Bendahara Dewan Mahasiswa ITB. Setelah menjadi arsitek, ia aktif di Ikatan Nasional Konsultan Indonesia hingga dipercaya menduduki pos sekretaris jenderal pada periode 1991-1994.
Kemudian Gus Solah dipercaya menjadi Ketua Departemen Konsultasi Manajemen pada Kadin Indonesia (1994-1998). Sedangkan di lingkungan organisasi massa keislaman, di samping jadi Ketua PBNU, Gus Solah hingga kini duduk sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Bersamaan dengan itu, ia juga dipercaya menjadi Wakil Ketua Komnas HAM.
Atas dasar itu, Gus Solah sesumbar. Credit point yang dimilikinya bukan sekadar ia orang PKB sekaligus NU. Juga sebagai pendekar HAM yang banyak diterima kalangan luas. “Saya punya konstituen sendiri di luar PKB,” kata ayah tiga anak kelahiran Jombang, Jawa Timur, 11 September 1942, ini. Kalaupun ada yang dirasakan kurang dari Gus Solah, mungkin pengalamannya dalam pemerintahan. Karena selama ini kiprahnya lebih banyak di wilayah partikelir.
Adapun dari sisi bibit, siapa sih yang tak kenal keluarga Gus Solah. Ia tak lain putra ketiga dari enam bersaudara pasangan KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama, dengan Hj. Sholihah. Pada diri Gus Solah juga mengalir “darah biru” NU, mengingat kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU. Trah yang menguntungkan untuk menyedot perhatian kaum nahdliyyin.
Dalam urusan memperebutkan suara NU ini, dapat dipastikan, Gus Solah bakal menjadi pesaing serius bagi KH Hasyim Muzadi. Hasyim sendiri memilih berduet dengan Megawati, calon presiden dari PDI Perjuangan. Pasangan ini dideklarasikan di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis kemarin. “Megawati lebih banyak menawari peran daripada sekadar posisi,” kata KH Mutawakil Alallah, kiai yang disebut-sebut sebagai tim sukses Hasyim.
Namun bagi PDI Perjuangan, suara NU bukan menjadi alasan dalam menggaet Hasyim. Sebab, di mata banteng bermoncong putih, potensi Hasyim tak hanya sebatas di NU. “Harus disadari kalau Pak Hasyim ini sudah menjadi tokoh nasional. Sebagai figur panutan yang kebetulan adalah tokoh NU,” kata Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR.
Bisa jadi, karena bobot Hasyim inilah, Megawati memberi tawaran lebih kepada Hasyim. Selain menyodorkan kursi wakil presiden (wapres), kabarnya Megawati menjanjikan lima kursi kabinet. Tawaran yang lebih menggiurkan, Hasyim juga akan diberi peran dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Kongkretnya, apabila terpilih lagi jadi presiden, Mega akan “menyerahkan” instansi Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Polri. “Jadi, nantinya wewenang memecat dan mengganti jabatan-jabatan di instansi-instansi tersebut diserahkan kepada wapres. Meskipun prosedur formal tetap pada presiden,” kata seorang kiai yang terlibat dalam negosiasi, yang enggan disebut namanya.
Di mata para pendukungnya, Hasyim punya kapasitas untuk mengemban peran itu. Dia dianggap kaya akan ide-ide segar, dan pergaulan internasionalnya luas. Pengalaman memimpin pun sangat panjang. Di NU, karier pengasuh Pesantren Al-Hikam, Cenggerayam, Malang, itu merambat dari tingkat ranting hingga meraih posisi puncak sebagai Ketua Umum PBNU.
Sebagai orang nomor satu di NU, Hasyim juga diperhitungkan dapat meraup dukungan kaum nahdliyyin. Terutama dari kantong-kantong NU di Jawa Timur. Ali Maschan Moesa, Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, sempat yakin, 99,9% suara NU Jawa Timur dalam genggaman Hasyim. Kalaulah suara ini merupakan mayoritas dari 12 juta suara PKB dalam Pemilu 2004, maka sumbangan angka ini besar artinya bagi Mega yang punya modal suara PDI Perjuangan sekitar 21 juta.
Namun potensi suara NU ini bisa saja justru mengempis di tangan Hasyim. Terutama setelah Gus Dur terang-terangan tak memberi izin terhadap pencalonan Hasyim, apalagi sampai mendukungnya. Sudah bukan rahasia lagi, apa pun kata cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari ini bak fatwa bagi kaum nahdliyyin. Artinya, sikap Gus Dur ini sangat menentukan arah aliran suara NU. “Alasannya apa kita mendukung? Pak Hasyim sendiri belum mengonfirmasikan apa pun ke PKB,” kata Khofifah Indar Parawansa, Ketua Pemenangan Pemilu PKB, kepada Rachmat Hidayat dari Gatra.
Lepas dari plus-minus Gus Solah dan Hasyim, majunya dua tokoh NU ini tak bisa dimungkiri sebagai bukti betapa bernilainya calon-calon dari kalangan nahdliyyin. Mereka dianggap punya bobot, bibit, dan bebet yang memadai. Tak kalah dibandingkan dengan cawapres lainnya, seperti Jusuf Kalla, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono, dan Siswono Yudohusodo, yang hampir pasti jadi partner Amien Rais. Walaupun, pengalaman kedua cawapres terakhir lebih kaya.
Jusuf Kalla, misalnya, terbukti cukup sukses mengemban tugas di kabinet. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar, tahun 1967 ini dipercaya jadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan (tahun 1999-2000) dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) era pemerintahan Megawati.
Ketika jadi Menko Kesra, Kalla tak hanya sigap menangani rakyat yang terkena bencana alam, melainkan juga berhasil membawa pihak-pihak yang berkonflik di Poso dan Ambon ke meja perundingan di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sehingga tragedi berdarah di kedua daerah rawan ini bisa dihentikan.
Modal politik Kalla pun tidaklah kecil. Sebagai tokoh Golkar, namanya sangat mengakar di kawasan Indonesia Timur, khususnya Sulawesi. Tak menutup kemungkinan, ia bisa “mencuri” suara Golkar dari kawasan ini. Selain itu, sebagai pengusaha sukses dengan bendera Haji Kalla Group-nya, ia punya kekuatan fulus guna memuluskan kampanyenya.
Dalam urusan modal kampanye, tampaknya kekuatan Kalla hanya bisa ditandingi oleh Siswono. Bos PT Bangun Tjipta Sarana, perusahaan bidang konstruksi, ini secara terang-terangan siap merogoh duit Rp 85 milyar dari sakunya sendiri. Selain itu, akan digalang dana dari simpatisan sehingga tercapai angka Rp 127 milyar.
Dari sisi pengalaman di bidang pemerintahan pun, Siswono tak kalah. Politikus yang dibesarkan Golkar ini pernah jadi Menteri Negara Perumahan Rakyat (1988-1993) serta Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan (1993-1998). Semasa duduk di kabinet, pria kelahiran Long Iram, Kalimantan Timur, 4 Juli 1943, ini dikenal bersih dan anti-KKN. Kala itu, lulusan ITB tahun 1968 ini melarang grup usahanya menjadi rekanan instansi yang dipimpinnya.
Hidayat Gunadi, Rohmat Haryadi, Bernadetta Febriana, dan Mujib Rahman (Surabaya)
[Nasional, GATRA, Edisi 26 Beredar Jumat 7 Mei 2004]
co-pas: http://gp-ansor.org/biografi/salahudin-wahid
Lahir: Jombang, 11 September 1942
Agama: Islam
Istri:
Anak: Tiga orang
PENDIDIKAN:
- Institut Teknologi Bandung (ITB)
- Mengikuti berbagai seminar dan Pelatihan Kepemimpinan
PENGALAMAN PEKERJAAN:
- Wakil Ketua Komnas HAM (2002-2007)
- Anggota MPR (1998-1999)
- Penulis lepas pada berbagai media (1998-sekarang)
- Assosiate Director Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996)
- Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik (1978-1997)
- Direktur Utama Perusahaan Kontraktor (1969-1977)
PENGALAMAN ORGANISASI:
- 1957-1961 Kepanduan Ansor
- 1961-1962 Wakil Ketua OSIS SMAN 1 Jakarta
- 1963-1964 Anggota pengurus Senat Mahasiswa Arsitektur ITB
- 1967 Bendahara Dewan Mahasiswa ITB
- 1964-1966 Komisariat PMII ITB
- 1964-1966 Wakil Ketua PMII Cabang Bandung
- 1966-1967 Dewan penurus Pendaki Gunung Wanadri
- 1973-skrng Anggota Ikatan Arsitek Indonesia
- 1988-skrng Anggota Persatuan Insinyur Indonesia.
- 1989-1990 Ketua DPD DKI Indkindo (Ikatan Konsultan Indonesia)
- 1991-1994 Sekretaris Jenderal DPP Inkindo
- 1993-1994 Pemred Majalah Konsultan
- 1994-1998 Ketua Departemen Konsultan Manajemen Kadin
- 1995 Mendirikan Ikatan Konsultan Manajemen Indonesia
- 2002-2005 Anggota Dewan Pembina YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
- 1999-2004 Ketua PBNU
- 2000-2005 Ketua MPP ICMI
- 1995-2005 Anggota Dewan Penasehat ICMI
- 1998-1999 Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Umat
- 1998-1999 Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu PKU
- 2002-2005 Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial
- 2000-skrg Ketua Badan Pendiri Yayasan Forum Indonesia Satu.
- 1993-skrg Anggota Pengurus IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia)
- 1982-1994 Pendiri, Ketua, Angg. Badan Pengurus Yayasan Baitussalam
- 1985, 1999 Pendiri, Sekretaris Yayasan Wahid Hasyim
ALAMAT:
Jalan Tendean No. 2C, Jakarta Selatan.
Sumber dari TokohIndonesia.com
Menimbang Bobot Calon Pendamping
KALAU hati sudah kepincut, hasrat memuncak hingga ke ubun-ubun, plus kepepet waktu, maka pinangan pun langsung disampaikan. Itulah yang dilakukan Partai Golkar kala memilih Salahudin Wahid sebagai pendamping Jenderal (purnawirawan) Wiranto dalam pemilihan presiden. “Saya secara resmi menerima Pak Salahudin menjadi partner Pak Wiranto,” kata Akbar Tandjung, Ketua Umum Golkar.
Kepastian duet Wiranto-Gus Solah –demikian Salahudin biasa disapa– dipastikan setelah keduanya menemui Akbar di rumah dinasnya, kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Selasa petang lalu. Akbar berharap, pasangan ini bisa menguatkan bangunan koalisi antara Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Baik itu dari jumlah pemilihnya maupun dukungan politiknya di DPR. Sehingga nanti jika terpilih, akan tercipta pemerintahan yang kuat dan efektif. “Itulah kira-kira strategi kami,” ujar Akbar.
Sebetulnya, nama Gus Solah tak ada dalam struktur kepengurusan PKB. Sebagai salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), ia terkena “larangan” bahwa pengurus NU tak boleh masuk dalam jajaran partai politik. Namun bukan berarti Gus Solah jauh dari PKB. Dalam setahun terakhir, ia mengaku turut cawe-cawe di PKB. “Walaupun secara tidak langsung,” katanya.
Kala pinangan datang pun, Gus Solah kulon nuwun dulu ke PKB. Khususnya kepada Gus Dur, kakaknya yang juga Ketua Dewan Syuro PKB. Hasilnya lumayan. Ia mendapat izin, walaupun tak dijanjikan dukungan. Lebih baik ketimbang nasib Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, yang sama sekali tak mendapat izin Gus Dur. Setidaknya, lampu hijau dari Gus Dur ini bisa jadi modal dalam membetot suara NU, kantong utama pendukung PKB.
Lihat saja sikap Gerakan Pemuda Ansor, sayap pemuda NU, yang langsung menyokong langkah Gus Solah. Sekaligus menganulir dukungan kepada Hasyim. Menurut Maskut Chandranegara, Wakil Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda Ansor, Gus Solah telah melewati jalur yang benar. Pencalonannya dilakukan melalui PKB, setelah sebelumnya meminta restu Gus Dur.
Selain punya dukungan massa NU, bobot Gus Solah tak bisa dipandang sebelah mata. Bekal intelektualnya didapat dari Jurusan Teknik Arsitektur ITB. Ia juga cukup kaya pengalaman berorganisasi. Semasa mahasiswa, Gus Solah tercatat sebagai Bendahara Dewan Mahasiswa ITB. Setelah menjadi arsitek, ia aktif di Ikatan Nasional Konsultan Indonesia hingga dipercaya menduduki pos sekretaris jenderal pada periode 1991-1994.
Kemudian Gus Solah dipercaya menjadi Ketua Departemen Konsultasi Manajemen pada Kadin Indonesia (1994-1998). Sedangkan di lingkungan organisasi massa keislaman, di samping jadi Ketua PBNU, Gus Solah hingga kini duduk sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Bersamaan dengan itu, ia juga dipercaya menjadi Wakil Ketua Komnas HAM.
Atas dasar itu, Gus Solah sesumbar. Credit point yang dimilikinya bukan sekadar ia orang PKB sekaligus NU. Juga sebagai pendekar HAM yang banyak diterima kalangan luas. “Saya punya konstituen sendiri di luar PKB,” kata ayah tiga anak kelahiran Jombang, Jawa Timur, 11 September 1942, ini. Kalaupun ada yang dirasakan kurang dari Gus Solah, mungkin pengalamannya dalam pemerintahan. Karena selama ini kiprahnya lebih banyak di wilayah partikelir.
Adapun dari sisi bibit, siapa sih yang tak kenal keluarga Gus Solah. Ia tak lain putra ketiga dari enam bersaudara pasangan KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama, dengan Hj. Sholihah. Pada diri Gus Solah juga mengalir “darah biru” NU, mengingat kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU. Trah yang menguntungkan untuk menyedot perhatian kaum nahdliyyin.
Dalam urusan memperebutkan suara NU ini, dapat dipastikan, Gus Solah bakal menjadi pesaing serius bagi KH Hasyim Muzadi. Hasyim sendiri memilih berduet dengan Megawati, calon presiden dari PDI Perjuangan. Pasangan ini dideklarasikan di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis kemarin. “Megawati lebih banyak menawari peran daripada sekadar posisi,” kata KH Mutawakil Alallah, kiai yang disebut-sebut sebagai tim sukses Hasyim.
Namun bagi PDI Perjuangan, suara NU bukan menjadi alasan dalam menggaet Hasyim. Sebab, di mata banteng bermoncong putih, potensi Hasyim tak hanya sebatas di NU. “Harus disadari kalau Pak Hasyim ini sudah menjadi tokoh nasional. Sebagai figur panutan yang kebetulan adalah tokoh NU,” kata Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR.
Bisa jadi, karena bobot Hasyim inilah, Megawati memberi tawaran lebih kepada Hasyim. Selain menyodorkan kursi wakil presiden (wapres), kabarnya Megawati menjanjikan lima kursi kabinet. Tawaran yang lebih menggiurkan, Hasyim juga akan diberi peran dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Kongkretnya, apabila terpilih lagi jadi presiden, Mega akan “menyerahkan” instansi Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Polri. “Jadi, nantinya wewenang memecat dan mengganti jabatan-jabatan di instansi-instansi tersebut diserahkan kepada wapres. Meskipun prosedur formal tetap pada presiden,” kata seorang kiai yang terlibat dalam negosiasi, yang enggan disebut namanya.
Di mata para pendukungnya, Hasyim punya kapasitas untuk mengemban peran itu. Dia dianggap kaya akan ide-ide segar, dan pergaulan internasionalnya luas. Pengalaman memimpin pun sangat panjang. Di NU, karier pengasuh Pesantren Al-Hikam, Cenggerayam, Malang, itu merambat dari tingkat ranting hingga meraih posisi puncak sebagai Ketua Umum PBNU.
Sebagai orang nomor satu di NU, Hasyim juga diperhitungkan dapat meraup dukungan kaum nahdliyyin. Terutama dari kantong-kantong NU di Jawa Timur. Ali Maschan Moesa, Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, sempat yakin, 99,9% suara NU Jawa Timur dalam genggaman Hasyim. Kalaulah suara ini merupakan mayoritas dari 12 juta suara PKB dalam Pemilu 2004, maka sumbangan angka ini besar artinya bagi Mega yang punya modal suara PDI Perjuangan sekitar 21 juta.
Namun potensi suara NU ini bisa saja justru mengempis di tangan Hasyim. Terutama setelah Gus Dur terang-terangan tak memberi izin terhadap pencalonan Hasyim, apalagi sampai mendukungnya. Sudah bukan rahasia lagi, apa pun kata cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari ini bak fatwa bagi kaum nahdliyyin. Artinya, sikap Gus Dur ini sangat menentukan arah aliran suara NU. “Alasannya apa kita mendukung? Pak Hasyim sendiri belum mengonfirmasikan apa pun ke PKB,” kata Khofifah Indar Parawansa, Ketua Pemenangan Pemilu PKB, kepada Rachmat Hidayat dari Gatra.
Lepas dari plus-minus Gus Solah dan Hasyim, majunya dua tokoh NU ini tak bisa dimungkiri sebagai bukti betapa bernilainya calon-calon dari kalangan nahdliyyin. Mereka dianggap punya bobot, bibit, dan bebet yang memadai. Tak kalah dibandingkan dengan cawapres lainnya, seperti Jusuf Kalla, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono, dan Siswono Yudohusodo, yang hampir pasti jadi partner Amien Rais. Walaupun, pengalaman kedua cawapres terakhir lebih kaya.
Jusuf Kalla, misalnya, terbukti cukup sukses mengemban tugas di kabinet. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar, tahun 1967 ini dipercaya jadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan (tahun 1999-2000) dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) era pemerintahan Megawati.
Ketika jadi Menko Kesra, Kalla tak hanya sigap menangani rakyat yang terkena bencana alam, melainkan juga berhasil membawa pihak-pihak yang berkonflik di Poso dan Ambon ke meja perundingan di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sehingga tragedi berdarah di kedua daerah rawan ini bisa dihentikan.
Modal politik Kalla pun tidaklah kecil. Sebagai tokoh Golkar, namanya sangat mengakar di kawasan Indonesia Timur, khususnya Sulawesi. Tak menutup kemungkinan, ia bisa “mencuri” suara Golkar dari kawasan ini. Selain itu, sebagai pengusaha sukses dengan bendera Haji Kalla Group-nya, ia punya kekuatan fulus guna memuluskan kampanyenya.
Dalam urusan modal kampanye, tampaknya kekuatan Kalla hanya bisa ditandingi oleh Siswono. Bos PT Bangun Tjipta Sarana, perusahaan bidang konstruksi, ini secara terang-terangan siap merogoh duit Rp 85 milyar dari sakunya sendiri. Selain itu, akan digalang dana dari simpatisan sehingga tercapai angka Rp 127 milyar.
Dari sisi pengalaman di bidang pemerintahan pun, Siswono tak kalah. Politikus yang dibesarkan Golkar ini pernah jadi Menteri Negara Perumahan Rakyat (1988-1993) serta Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan (1993-1998). Semasa duduk di kabinet, pria kelahiran Long Iram, Kalimantan Timur, 4 Juli 1943, ini dikenal bersih dan anti-KKN. Kala itu, lulusan ITB tahun 1968 ini melarang grup usahanya menjadi rekanan instansi yang dipimpinnya.
Hidayat Gunadi, Rohmat Haryadi, Bernadetta Febriana, dan Mujib Rahman (Surabaya)
[Nasional, GATRA, Edisi 26 Beredar Jumat 7 Mei 2004]
co-pas: http://gp-ansor.org/biografi/salahudin-wahid
Comments
Post a Comment