Skip to main content

Bocah Kalimalang, Sambil Nyelam Mencari Kijing


"Woy, lu pada mau nyari gak, kalo kagak gua buang ni! Woy, denger gak, gua buang aja yak!" ancam Rusdi kepada teman-temannya yang asyik bercanda ria sambil bermain lumpur di pinggir Sungai Kalimalang.
Sore itu, cuaca sedikit mendung tapi cahaya di langit tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan, sekumpulan anak-anak 'tanggung' tampak menikmati cuaca hari itu. Sebenarnya, bagi mereka, faktor yang terpenting pertama setelah cuaca adalah arus sungai yang terbentang sepanjang Jakarta Timur hingga Bekasi itu terlihat cukup tenang.

Kijing, begitulah mereka menyebut hewan sebangsa kerang yang hidup di sungai itu. Ternyata, satu kantong plastik penuh berisikan hewan itulah yang menjadi ancaman Rusdi. Bahkan, nada ancaman itu juga mampu membubarkan suasana canda tawa teman-temannya.

Sungai Kalimalang memang tidak separah dan 'sejijik' sungai Ciliwung. Sehingga, bagi Rusdi dan teman-temannya, sungai itu menjadi sarana bermain yang asyik sekaligus lokasi yang tepat untuk mencari uang receh yang paling mudah diperoleh oleh anak sebaya mereka.

"Lumayan kalau dijual seplastik harganya Rp 15 ribu," terang Rusdi dengan mata memerah yang seorang diri menyelam sambil mencari Kijing hanya dengan tangan hampa dan bantuan sebatang bamboo serta satu kantong plastik untuk tempat mengumpulkan Kijing.

Baginya, tidak susah untuk menentukan lokasi berkumpulnya Kijing yang bersembunyi di dalam lumpur tersebut. Dengan pijakan kaki, katanya, sudah bisa terdeteksi keberadaan gerombolan Kijing tersebut.

Ketika sudah mendapatkan lokasi yang cocok untuk menyelam, Rusdi kemudian menggunakan batang bambu yang ditancapkan di lumpur tersebut. "Supaya gak kebawa arus sungai waktu nyelem," ungkap Rusdi seraya menerangkan fungsi menancapkan bambu tersebut.

Rusdi menyelam hingga 1-2 menit setiap kali menyelam, nampaknya tidak digubris oleh sekitar 10 orang temannya yang lain yang masih asyik bermain perang-perangan 'lumpur' sambil sesekali berenang-renang ketengah sungai yang berwarna coklat muda itu.

Mendengar ancaman tersebut, teman-temannya akhirnya tunduk dengan teguran Rusdi. Dalam waktu sekejap, beberapa temannya terlihat ikut menyelam dan tidak lama muncul kembali ke permukaan dengan tangan penuh dengan Kijing lalu di simpan di kantong plastik yang sudah diberi lubang kecil sebagai tempat keluarnya air.

Entahlah, hal yang mana yang lebih berharga bagi mereka, bermain dan bercanda bersama di sungai ataukah mencari Kijing yang bisa menghasilkan rupiah bagi mereka. Nampaknya, keceriaan dan kebahagiaan mereka dalam menghabiskan masa kecil, sudah bisa di reposisikan dengan sesuatu yang bernama Rupiah.

Comments

Popular posts from this blog

Rute Bus Kota "PPD" Reguler Jaman Dulu

PPD Reguler 10 Jurusan : Terminal Blok M - Terminal Senen. Rute: Terminal Blok M - Radio Dalam - Velbak - Sudirman - Thamrin - Monas - Harmoni - Pasar Baru - Terminal Senen - Tripoli - Pejambon - Gambir - Monas - Dukuh Atas - Thamrin - Sudirman - Pakubuwono - Taman Puring. PPD Reguler 11 Jurusan : Terminal Blok M - Pejambon Rute : Terminal Blok M - Kyai Maja - Barito - Velbak - Pakubuwono - Hang Lekir - Jenderal Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat Raya - Kwini II - Pejambon PPD Reguler 12 Jurusan : Terminal Blok M - Lapangan Banteng Utara Rute : Terminal Blok M - Iskandarsyah - Senopati - Bundaran Senayan - Jenderal Sudirman - Hotel Indonesia - MH. Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - IR. H. Juanda - Jl. Pos - Gedung Kesenian - Lapangan Banteng Utara PPD Reguler 13 Jurusan : Terminal Lebak Bulus - Pejambon Rute : Terminal Lebak Bulus - RS Fatmawati - Wijaya II - Wijaya I - Senopati - Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat

Sepenggal Kisah Tragedi Boedoet Kelabu 1989

Ini sepenggal kisah pribadi yang terjadi 20 tahun yang lalu di awal bulan Oktober 1989 di jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Bukan bermaksud untuk menguak kembali luka lama yang telah berlalu, tapi ini hanya sebuah cermin bagi generasi-generasi berikutnya untuk lebih menghargai arti sebuah persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa. Sebagai salah seorang siswa baru di SMA Negeri 1, saya termaksud orang yang dapat berbangga hati karena dapat diterima disebuah sekolah favorit yang isinya memang banyak dari kalangan anak-anak borju dan pejabat. Mungkin diantara ratusan murid SMA 1 hanya sayalah yang kere dan tak pernah bisa berdandan rapi. Penampilan saya lebih banyak meniru tokoh novel remaja yang ngetop saat itu, Lupus. Baju selalu dikeluarkan dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Kedua lengan baju digulung walaupun tak berotot, tas dengan tali yang panjang sampai sebatas paha, sepatu capung alias Butterfly dan tak lupa celana abu-abu yang sudah dekil karena sudah semi

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah “Entuh (pertemuan Kali Bekasi dengan Kalimalang / Kali Tarum Barat) dulu, kali prempuan ama kali lakian ga pernah nyatu, baru karang-karang enih aja nyatunya.” (“Itu dahulu, kali perempuan dengan kali lelaki tidak pernah bersatu, baru sekarang ini saja bersatunya”). Begitulah yang digambarkan nenek saya ketika bercerita tentang Kali Bekasi dan Kali Tarum Barat atau sering dikenal dengan nama Kalimalang. Kali Bekasi yang mengaliri air dengan deras meliuk-liuk gagah seperti jalan ular dari hulunya di selatan yang berada di pegunungan di Bogor sampai ke muaranya di laut utara Jawa, diidentikkan dengan sosok laki-laki. Sedang kali buatan Kali Tarum Barat (Kalimalang) yang begitu tenang mengaliri air dari Waduk Jatiluhur di sebelah timur ke barat di Bekasi dan Jakarta, digambarkan dengan sosok perempuan. Menurut cerita nenek, awalnya air Kalimalang dengan air Kali Bekasi diceritakan “ga bisa dikawinin” (“tida