Skip to main content

Haruskah Aku Jatuh Kedua Kali di Lubang yang Sama?


Aku adalah salah satu kader partai politik . Sebagai konstituen, sudah pasti aku harus mengikuti apa yang sudah di gariskan sebagai kebijakan partai untuk memilih calon di DPRD, DPR, DPD-RI dan juga Pemilukada. Semua aku lakukan dengan sepenuh hati tanpa neko-neko. Tanpa prasarat apapun.

Tahun 2011 aku kehilangan ibu. Ia berpulang kepada Sang Pencipta. Innaa lillahi Wa’innaa illaihi ro’jiun. Hatiku luka dan sedih. Saat duka menerpa seperti ini, aku berharap kawan-kawan dan pimpinan satu partai membebaskan belenggu duka yang menerjang kebahagiaan hidupku. Tapi harapan itu hanya bayang-bayang belaka. Mereka tak datang tepat di saat duka itu.

Namun, betapa aku kaget melihat sebuah mobil Ambulan yang aku sendiri tidak kenal sebelumnya. Ambulan itu bertuliskan ” Relawan Dibo Piss “. Aku sangat terharu dan mengucapkan terima kasih ada yang telah membantu mengantar almarhumah ke pemakaman dengan mobil ambulan Relawan Dibo Piss.

Setelah proses pemakaman usai, terbetik tanda tanya dan penasaran di hati; siapa Relawan Dibo Piss itu? Ku coba surfing di internet/ google mengenai organisasi yang telah berbaik hati dengan aku yang sebelumnya tidak kenal sama sekali. Mbah Google memberiku banyak info tentang Relawan Dibo Piss; ternyata ketuanya bernama Firman Abadi dan pernah mencalonkan diri beliau sebagai Senator dari Gang Potlot tahun 2009.

Aku begitu terharu dan juga kaget dengan anak muda yang menjadi pelayan masyarat DKI ini. Mengapa? Karena walaupun mantan calon DPD RI, ternyata beliau belum memiliki rumah pribadi. Anak muda ini justeru memiliki 11 mobil yang dipakai untuk kepentingan sosial yang kesemuanya itu diproleh dengan cara kredit. Akupun berdecak kagum. Lebih hebat lagi, pemuda yang biasa dipanggil Dibo itu merupakan pebisnis kecil-kecilan namun mampu menyisihkan keuntungan usahanya itu dengan 11 unit mobil ambulan untuk membantu masyarakat DKI. Termasuk aku tentunya. Dengan usaha kecil itu beliau mampu memberi begitu besar kebahagiaan saat duka menimpa keluargaku. Aku kemudian berpikir kebelakang, kemana sajakah mereka yang telah aku pilih dulu? Aku mulai menyesal dengan apa yng telah aku pilih.

Pemuda yang baru ku kenal lewat mbah Google itu berencana mencalonkan diri sebagai Pelayan bagi Masyarakat DKI Jakarta 2012-2017. Melalui jalur Independen / Bukan Partai Politik. Saat ini beliau sedang melakukan Gerakan Foto Copy KTP untuk persyaratan administrasi Bakal Calon Gubernur/ Bakal Calon Wakil Gubernur. Akupun tanpa banyak pikir, langsung bergerak mengayuh sepeda motor untuk mendukung beliau dengan menyerahkan KTP secara sukarela.  Saya berharap warga Jakarta mau memberikan dukungan kepada beliau, dengan cara menyerahkan photo copy KTP ke posko relawan dibo piss yang terdekat diwilayah masing-masing atau ke Jalan Raya Pasar Minggu No 2 sebrang Gang Potlot, 021 97513009”.Aku tidak mau jatuh kelubang yang sama untuk kedua kalinya (seperti yang diungkapkan salah seorang warga DKI)

Sumber:
http://sosbud.kompasiana,com/


Comments

Popular posts from this blog

Rute Bus Kota "PPD" Reguler Jaman Dulu

PPD Reguler 10 Jurusan : Terminal Blok M - Terminal Senen. Rute: Terminal Blok M - Radio Dalam - Velbak - Sudirman - Thamrin - Monas - Harmoni - Pasar Baru - Terminal Senen - Tripoli - Pejambon - Gambir - Monas - Dukuh Atas - Thamrin - Sudirman - Pakubuwono - Taman Puring. PPD Reguler 11 Jurusan : Terminal Blok M - Pejambon Rute : Terminal Blok M - Kyai Maja - Barito - Velbak - Pakubuwono - Hang Lekir - Jenderal Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat Raya - Kwini II - Pejambon PPD Reguler 12 Jurusan : Terminal Blok M - Lapangan Banteng Utara Rute : Terminal Blok M - Iskandarsyah - Senopati - Bundaran Senayan - Jenderal Sudirman - Hotel Indonesia - MH. Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - IR. H. Juanda - Jl. Pos - Gedung Kesenian - Lapangan Banteng Utara PPD Reguler 13 Jurusan : Terminal Lebak Bulus - Pejambon Rute : Terminal Lebak Bulus - RS Fatmawati - Wijaya II - Wijaya I - Senopati - Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat

Sepenggal Kisah Tragedi Boedoet Kelabu 1989

Ini sepenggal kisah pribadi yang terjadi 20 tahun yang lalu di awal bulan Oktober 1989 di jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Bukan bermaksud untuk menguak kembali luka lama yang telah berlalu, tapi ini hanya sebuah cermin bagi generasi-generasi berikutnya untuk lebih menghargai arti sebuah persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa. Sebagai salah seorang siswa baru di SMA Negeri 1, saya termaksud orang yang dapat berbangga hati karena dapat diterima disebuah sekolah favorit yang isinya memang banyak dari kalangan anak-anak borju dan pejabat. Mungkin diantara ratusan murid SMA 1 hanya sayalah yang kere dan tak pernah bisa berdandan rapi. Penampilan saya lebih banyak meniru tokoh novel remaja yang ngetop saat itu, Lupus. Baju selalu dikeluarkan dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Kedua lengan baju digulung walaupun tak berotot, tas dengan tali yang panjang sampai sebatas paha, sepatu capung alias Butterfly dan tak lupa celana abu-abu yang sudah dekil karena sudah semi

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah “Entuh (pertemuan Kali Bekasi dengan Kalimalang / Kali Tarum Barat) dulu, kali prempuan ama kali lakian ga pernah nyatu, baru karang-karang enih aja nyatunya.” (“Itu dahulu, kali perempuan dengan kali lelaki tidak pernah bersatu, baru sekarang ini saja bersatunya”). Begitulah yang digambarkan nenek saya ketika bercerita tentang Kali Bekasi dan Kali Tarum Barat atau sering dikenal dengan nama Kalimalang. Kali Bekasi yang mengaliri air dengan deras meliuk-liuk gagah seperti jalan ular dari hulunya di selatan yang berada di pegunungan di Bogor sampai ke muaranya di laut utara Jawa, diidentikkan dengan sosok laki-laki. Sedang kali buatan Kali Tarum Barat (Kalimalang) yang begitu tenang mengaliri air dari Waduk Jatiluhur di sebelah timur ke barat di Bekasi dan Jakarta, digambarkan dengan sosok perempuan. Menurut cerita nenek, awalnya air Kalimalang dengan air Kali Bekasi diceritakan “ga bisa dikawinin” (“tida