Warga Belanda beramai-ramai meninggalkan ‘kota lama’ di Pasar Ikan, yang dianggap sumpek dan sarang penyakit. Rijswijk (Jl Veteran) dan Noordwijk (Jl Juanda), saat itu lantas menjadi kawasan paling elite di Batavia. Di kedua jalan yang diapit kanal dari sodetan Kali Ciliwung, yang selalu dipenuhi sampan hilir mudik membawa berbagai barang, berdiri gedung dan rumah mewah tertata rapi.
Di kedua jalan yang memanjang hingga ke Jl Pintu Air dan Pasar Baru, terdapat sejumlah hotel cukup baik, tempat hiburan, dan toko serba ada yang mendatangkan berbagai produk buatan Eropa. Pada masa Raffles (1811-1816), gubernur jenderal yang berambisi agar Hindia Belanda terus berada dalam kekuasaan Inggris, telah menyulap Rijswijk dan Noordwijk jadi kawasan Eropa. Untuk melampiaskan ambisinya, pendiri kota Singapura ini menggusur tempat pemakaman, rumah penduduk, dan toko milik Tionghoa.
Dia sendiri membangun sebuah rumah mewah, yang pada 1840 menjadi Hotel der Nederlanden: hotel paling bergengsi di Batavia, sebelum dibangun Hotel des Indes. Hotel bekas kediaman Raffles, kini menjadi Bina Graha, setelah sebelumnya, Bung Karno menjadikan sebagai markas Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadinya. Sedangkan Hotel des Indes, yang sampai tahun 1960-an sering menjadi tempat para tamu negara menginap dan tempat berbagai pertemuan internasional, kini menjadi Pertokoan Duta Merlin.
Charles Walter Kinloch, warga Inggris yang bertamasya ke Batavia (1852) menyebutkan, kehidupan elite Eropa dan Belanda penuh glamour. Wanitanya senang menggunakan pettycoot dari sutra seperti yang kita saksikan dalam film-film yang mengisahkan abad ke-19. Pada malam hari kelompok elite ini dihibur dengan pesta-pesta dansa atau menonton opera Prancis yang di Eropa sendiri masih langka, tulis Kinloch. Dibukanya Club Harmonie (kini gedung sekneg), dengan pesta-pesta tamannya yang selalu ramai menambah bobot kawasan ini.
Harmonie diresmikan 18 Januari 1815, sebagai hadiah ulang tahun Ratu Charlotte, istri Raja Inggrris, George III. Di Noordwijk (Jl Juanda) dekat Pecenongan, hingga kini terdapat klooster Ursulin yang diresmikan 1 Agustus 1856. Tempat pendidikan para wanita Katolik dengan asramanya yang memanjang kebelakang hingga ke Jl Batutulis. Sebuah klooster lainnya dibangun 1859 di samping Kantor Pos Pasar Baru dengan nama yang sama. Pada masa VOC (1602-1799), ketika terjadi pertentangan tajam antara Protestan dan Katolik, kegiatan peribadatan Katolik terlarang di Hindia Belanda.
Baru pada 8 Mei 1807, Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang menguasai Nederland, mengizinkan berdirinya gereja Roma Katolik. Hingga berdirilah katedral (gereja Katolik) yang letaknya bersebelahan dengan Masjid Istiqlal. Rupanya di abad ke-19, ke-20, dan menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, di antara para pengusaha Eropa papan atas terdapat warga Yahudi, misalnya Olislaeger, Goldenberg, dan Ezekiel. Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses di Indonesia.
Mereka pedagang tangguh yang menjual permata, emas, intan, perak, arloji, kaca mata, dan berbagai komoditas lainnya. Mereka memiliki sejumlah toko di Risjwijk dan Noordwijk. Seperti dikemukakan Zaki Shahabuddin (85 tahun), pada tahun 1930-an dan 1940-an, jumlah warga Yahudi di Jakarta cukup banyak. Menurutnya bisa mencapai lebih dari ratusan orang. Mereka pandai berbahasa Arab. Karena berbicara Bahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab. Di antara mereka ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan Hindia Belanda , yaitu Tjandra, gubernur jenderal Hindia Belanda terakhir yang menyerah ketika Jepang menyerbu Indonesia.
Banyak di antara residen dan asisten residen Belanda di Indonesia adalah warga Belanda keturunan Yahudi. Seperti dituturkan Zaki yang mempunyai daya ingat kuat, para Yahudi ini, di Batavia memiliki persatuan yang kuat. Setiap hari Sabtu, hari suci mereka, mereka sering berkumpul. Tempatnya di gedung yang kala itu terletak di sekitar Manggabesar, Jakarta Barat. Di gedung inilah rabbi (imam Yahudi) berceramah dengan kitab sucinya ‘Jabur’.
Ali Shatri (86 tahun), juga mengisahkan tentang keberadaan orang-orang Yahudi di Jakarta. “Dulu belum ada permusuhan seperti sekarang ini. Apalagi mereka memakai paspor Belanda, dan banyak yang mengaku orang Belanda.” Bahkan, kata Ali, terhadap orang Arab mereka sering mengatakan bersaudara. “Kita keturunan Iskak dan Arab keturunan Ismail,” kata Ali mengutip seorang yahudi yang pernah berbincang dengannya pada masa pendudukan Belanda. Kita tidak tahu apakah sebelum berdirinya negara Israel saat itu, Yahudi sudah memiliki jaringan di Indonesia. Dan bagaimana sekarang?
REPUBLIKA – Minggu, 31 Maret 2002
SUMBER: http://alwishahab.wordpress.com/2009/08/06/rijswijk-noordwijk-dan-warga-yahudi/
Di kedua jalan yang memanjang hingga ke Jl Pintu Air dan Pasar Baru, terdapat sejumlah hotel cukup baik, tempat hiburan, dan toko serba ada yang mendatangkan berbagai produk buatan Eropa. Pada masa Raffles (1811-1816), gubernur jenderal yang berambisi agar Hindia Belanda terus berada dalam kekuasaan Inggris, telah menyulap Rijswijk dan Noordwijk jadi kawasan Eropa. Untuk melampiaskan ambisinya, pendiri kota Singapura ini menggusur tempat pemakaman, rumah penduduk, dan toko milik Tionghoa.
Dia sendiri membangun sebuah rumah mewah, yang pada 1840 menjadi Hotel der Nederlanden: hotel paling bergengsi di Batavia, sebelum dibangun Hotel des Indes. Hotel bekas kediaman Raffles, kini menjadi Bina Graha, setelah sebelumnya, Bung Karno menjadikan sebagai markas Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadinya. Sedangkan Hotel des Indes, yang sampai tahun 1960-an sering menjadi tempat para tamu negara menginap dan tempat berbagai pertemuan internasional, kini menjadi Pertokoan Duta Merlin.
Charles Walter Kinloch, warga Inggris yang bertamasya ke Batavia (1852) menyebutkan, kehidupan elite Eropa dan Belanda penuh glamour. Wanitanya senang menggunakan pettycoot dari sutra seperti yang kita saksikan dalam film-film yang mengisahkan abad ke-19. Pada malam hari kelompok elite ini dihibur dengan pesta-pesta dansa atau menonton opera Prancis yang di Eropa sendiri masih langka, tulis Kinloch. Dibukanya Club Harmonie (kini gedung sekneg), dengan pesta-pesta tamannya yang selalu ramai menambah bobot kawasan ini.
Harmonie diresmikan 18 Januari 1815, sebagai hadiah ulang tahun Ratu Charlotte, istri Raja Inggrris, George III. Di Noordwijk (Jl Juanda) dekat Pecenongan, hingga kini terdapat klooster Ursulin yang diresmikan 1 Agustus 1856. Tempat pendidikan para wanita Katolik dengan asramanya yang memanjang kebelakang hingga ke Jl Batutulis. Sebuah klooster lainnya dibangun 1859 di samping Kantor Pos Pasar Baru dengan nama yang sama. Pada masa VOC (1602-1799), ketika terjadi pertentangan tajam antara Protestan dan Katolik, kegiatan peribadatan Katolik terlarang di Hindia Belanda.
Baru pada 8 Mei 1807, Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang menguasai Nederland, mengizinkan berdirinya gereja Roma Katolik. Hingga berdirilah katedral (gereja Katolik) yang letaknya bersebelahan dengan Masjid Istiqlal. Rupanya di abad ke-19, ke-20, dan menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, di antara para pengusaha Eropa papan atas terdapat warga Yahudi, misalnya Olislaeger, Goldenberg, dan Ezekiel. Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses di Indonesia.
Mereka pedagang tangguh yang menjual permata, emas, intan, perak, arloji, kaca mata, dan berbagai komoditas lainnya. Mereka memiliki sejumlah toko di Risjwijk dan Noordwijk. Seperti dikemukakan Zaki Shahabuddin (85 tahun), pada tahun 1930-an dan 1940-an, jumlah warga Yahudi di Jakarta cukup banyak. Menurutnya bisa mencapai lebih dari ratusan orang. Mereka pandai berbahasa Arab. Karena berbicara Bahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab. Di antara mereka ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan Hindia Belanda , yaitu Tjandra, gubernur jenderal Hindia Belanda terakhir yang menyerah ketika Jepang menyerbu Indonesia.
Banyak di antara residen dan asisten residen Belanda di Indonesia adalah warga Belanda keturunan Yahudi. Seperti dituturkan Zaki yang mempunyai daya ingat kuat, para Yahudi ini, di Batavia memiliki persatuan yang kuat. Setiap hari Sabtu, hari suci mereka, mereka sering berkumpul. Tempatnya di gedung yang kala itu terletak di sekitar Manggabesar, Jakarta Barat. Di gedung inilah rabbi (imam Yahudi) berceramah dengan kitab sucinya ‘Jabur’.
Ali Shatri (86 tahun), juga mengisahkan tentang keberadaan orang-orang Yahudi di Jakarta. “Dulu belum ada permusuhan seperti sekarang ini. Apalagi mereka memakai paspor Belanda, dan banyak yang mengaku orang Belanda.” Bahkan, kata Ali, terhadap orang Arab mereka sering mengatakan bersaudara. “Kita keturunan Iskak dan Arab keturunan Ismail,” kata Ali mengutip seorang yahudi yang pernah berbincang dengannya pada masa pendudukan Belanda. Kita tidak tahu apakah sebelum berdirinya negara Israel saat itu, Yahudi sudah memiliki jaringan di Indonesia. Dan bagaimana sekarang?
REPUBLIKA – Minggu, 31 Maret 2002
SUMBER: http://alwishahab.wordpress.com/2009/08/06/rijswijk-noordwijk-dan-warga-yahudi/
Comments
Post a Comment