Skip to main content

Naik Kereta Api ke Passer Baroe (Passer Baroestraat)



KOMPAS.com — Tahun 1821, sebuah pasar baru dibuka oleh Daendels. Pasar itu dibikin untuk membedakan Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang yang sudah didirikan lebih dulu pada 1733 oleh tuan tanah Justinus Vinck. Sebagai pasar yang baru di kawasan Weltevreden, pasar itu kemudian diberi nama Passer Baroe. Pasar ini dibangun dengan sistem los (disewakan per ruang).

Passer Baroe, yang terletak tak jauh dari Rijswijk dan Noordwijk (Jalan Veteran dan Jalan Juanda), merupakan pasar untuk kalangan elite di masa itu. Di pasar inilah untuk pertama kalinya sebuah toko menjual berbagai barang dengan mencantumkan harga pas. Toko itu milik Tio Tek Hong, pria asal Pasar Baru, dan ia pula yang merintis kebiasaan menutup toko setiap hari Minggu dan hari raya, demikian dipaparkan Ketua Komunitas Jelajah Budaya Kartum Setiawan.

Kawasan Pasar Baru sejak abad ke-19 itu juga dihuni oleh warga Tionghoa yang kemudian membuka usaha di pasar ini. Hanya sedikit yang bertahan hingga kini. Sebut saja Toko Lie Ie Seng, toko peralatan kantor dan tulis menulis; Toko Sin Lie Seng, toko sepatu tenar di masanya; Toko Jamu Nyonya Meneer; dan Toko Kompak yang adalah bekas kediaman Major Tionghoa Tio Tek Ho. Selain toko dan bangunan tua, di Pasar Baru ini terdapat satu vihara yang mungkin kurang beken dibandingkan beberapa vihara lain di kawasan Kota, Vihara Sin Tek Bio.

"Kawasan Pasar Baru ini kan juga merupakan kawasan pemerintahan maka di sana juga dibangun gedung kesenian, kantor pos," ujar Kartum lagi. Kawasan ini juga menjadi area pembauran antara pedagang India, Tionghoa, Arab, dan Betawi.

Saat ini, masih banyak terlihat bangunan tua yang dapat dilihat, di antaranya gedung Kantor Pos Filateli, gedung Antara yang merupakan saksi bisu tempat menyampaikan teks proklamasi pasca-17 Agustus 1945 oleh Adam Malik.

Keberadaan Pasar Baru ini dimulai sejak abad ke-19, ketika Gubernur Jenderal Daendels mengembangkan Weltevreden, yaitu sebuah tempat di selatan Batavia lama yang dirancang sebagai pusat pemerintahan yang baru. Pada awalnya, Pasar Baru hanya berupa pasar yang sangat sederhana, tempat pedagang pribumi menjual hasil kebunnya dengan pikulan serta pedagang kelontong Tionghoa.

Dalam sebuah catatan De Haan dalam Oud Batavia, tertulis bahwa lapangan untuk denah Pasar Baru telah dibeli oleh Daendels pada tahun 1809 dan telah direncanakan untuk dibuat pasar. Pasarnya sendiri mulai dibangun tahun 1821, padahal jelas terlihat bahwa di pintu gerbang Pasar Baru saat ini tertulis "Passer Baroe 1820". "Maka kita akan melakukan penjelajahan ke kawasan Pasar Baru berdasarkan perbedaan tahun itu. Kenapa berbeda," tanya Kartum.

Pada 1 Januari 1825, pasar ini disewakan kepada masyarakat. Hal ini juga termasuk pengenalan sistem sewa pasar dengan sistem los. Dalam pasar ini juga berlaku sewa pasar kuda dan sewa potong. Los-los terdiri dari kumpulan toko yang membujur searah dan bersampingan dari seberang jembatan Schouwburg (Gedung Kesenian Jakarta). Pada tahun 1828, pemerintah menjual beberapa bidang tanah yang terletak di sebelah timur dan barat pasar ini.

Untuk kegiatan penjelajahan yang digelar pada 7 Juni ini, peserta akan dibawa ke Pasar Baru dengan kereta api dari Stasiun Beos. Kemudian turun di Stasiun Juanda. Dari sana, perjalanan mengenang kawasan Passer Baroe dimulai. Kisah tentang perjalanan sejarah perkeretaapian di Batavia tentu merupakan satu kisah panjang yang lain lagi.

Menjejakkan kaki di Pasar Baru pada milenium kedua ini, sepanjang mata memandang, hanya terlihat kerumunan PKL yang seperti siap menyongsong warga. Toko-toko asli menjadi tertutup PKL yang berjejer di sepanjang pinggir jalan. Berantakan, itu kesan pertama yang langsung terlihat. Bangunan baru yang tak berkonsep juga mengganggu mata dan menutupi beberapa bangunan tua, bangunan Tionghoa, yang masih bertahan. Setidaknya, masih ada atap melengkung yang bisa diintip di sela-sela tembok dan atap bangunan baru.

SUMBER: http://www1.kompas.com/readkotatua/xml/2009/06/03/13010886/naik.kereta.api.ke.passer.baroe

Comments

Popular posts from this blog

Rute Bus Kota "PPD" Reguler Jaman Dulu

PPD Reguler 10 Jurusan : Terminal Blok M - Terminal Senen. Rute: Terminal Blok M - Radio Dalam - Velbak - Sudirman - Thamrin - Monas - Harmoni - Pasar Baru - Terminal Senen - Tripoli - Pejambon - Gambir - Monas - Dukuh Atas - Thamrin - Sudirman - Pakubuwono - Taman Puring. PPD Reguler 11 Jurusan : Terminal Blok M - Pejambon Rute : Terminal Blok M - Kyai Maja - Barito - Velbak - Pakubuwono - Hang Lekir - Jenderal Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat Raya - Kwini II - Pejambon PPD Reguler 12 Jurusan : Terminal Blok M - Lapangan Banteng Utara Rute : Terminal Blok M - Iskandarsyah - Senopati - Bundaran Senayan - Jenderal Sudirman - Hotel Indonesia - MH. Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - IR. H. Juanda - Jl. Pos - Gedung Kesenian - Lapangan Banteng Utara PPD Reguler 13 Jurusan : Terminal Lebak Bulus - Pejambon Rute : Terminal Lebak Bulus - RS Fatmawati - Wijaya II - Wijaya I - Senopati - Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat

Sepenggal Kisah Tragedi Boedoet Kelabu 1989

Ini sepenggal kisah pribadi yang terjadi 20 tahun yang lalu di awal bulan Oktober 1989 di jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Bukan bermaksud untuk menguak kembali luka lama yang telah berlalu, tapi ini hanya sebuah cermin bagi generasi-generasi berikutnya untuk lebih menghargai arti sebuah persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa. Sebagai salah seorang siswa baru di SMA Negeri 1, saya termaksud orang yang dapat berbangga hati karena dapat diterima disebuah sekolah favorit yang isinya memang banyak dari kalangan anak-anak borju dan pejabat. Mungkin diantara ratusan murid SMA 1 hanya sayalah yang kere dan tak pernah bisa berdandan rapi. Penampilan saya lebih banyak meniru tokoh novel remaja yang ngetop saat itu, Lupus. Baju selalu dikeluarkan dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Kedua lengan baju digulung walaupun tak berotot, tas dengan tali yang panjang sampai sebatas paha, sepatu capung alias Butterfly dan tak lupa celana abu-abu yang sudah dekil karena sudah semi

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah “Entuh (pertemuan Kali Bekasi dengan Kalimalang / Kali Tarum Barat) dulu, kali prempuan ama kali lakian ga pernah nyatu, baru karang-karang enih aja nyatunya.” (“Itu dahulu, kali perempuan dengan kali lelaki tidak pernah bersatu, baru sekarang ini saja bersatunya”). Begitulah yang digambarkan nenek saya ketika bercerita tentang Kali Bekasi dan Kali Tarum Barat atau sering dikenal dengan nama Kalimalang. Kali Bekasi yang mengaliri air dengan deras meliuk-liuk gagah seperti jalan ular dari hulunya di selatan yang berada di pegunungan di Bogor sampai ke muaranya di laut utara Jawa, diidentikkan dengan sosok laki-laki. Sedang kali buatan Kali Tarum Barat (Kalimalang) yang begitu tenang mengaliri air dari Waduk Jatiluhur di sebelah timur ke barat di Bekasi dan Jakarta, digambarkan dengan sosok perempuan. Menurut cerita nenek, awalnya air Kalimalang dengan air Kali Bekasi diceritakan “ga bisa dikawinin” (“tida