Skip to main content

Medan Merdeka (Koningsplein)

Sejarah:
Pada akhir abad ke-18 ketika pemerintahan Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahannya dari Batavia lama (kini kawasan Jakarta Kota) ke Weltevreden (kini Jakarta Pusat), mereka membangun beberapa bangunan penting termasuk fasilitas lapangan. Dua lapangan utama di Weltevreden adalah Buffelsveld dan Waterloopein (kini Lapangan Banteng). Lapangan mulai dibangun pada masa pemerintahan Daendels di awal abad ke-19, Waterloopein menjadi lapangan utama yang digunakan untuk parade dan upacara. Lapangan Waterloopein dijadikan warga kota sebagai tempat berkumpul pada sore hari untuk bersosialisasi dan berkuda, sementara itu Buffelsveld (lapangan kerbau) pada 1809 dinamakan Champs de Mars oleh Daendels yang sangat dipengaruhi Perancis, dan digunakan sebagai lapangan untuk latihan militer. Pada 1818 di masa pemerintahan Inggris di Hindia di bawah pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles, lapangan ini diubah namanya menjadi Koningsplein (Lapangan Raja) sejak Gubernur Jenderal mulai menghuni istana barunya di dekat lapangan itu, kini istana itu menjadi Istana Merdeka. Pemerintah kolonial membangun berbagai fasilitas olahraga seperti jalur atletik dan stadion di Koningsplein. Penduduk pribumi menamai lapangan itu "Lapangan Gambir", konon berdasarkan banyaknya pohon gambir di tempat itu. Lapangan Gambir menjadi lokasi Pasar Gambir, sebuah Pasar Malam besar yaitu pekan raya yang dimulai untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada 1906. Sejak tahun 1921 Pasar Gambir menjadi perhelatan tahunan dan menjadi pendahulu dari Pekan Raya Jakarta. Nama lapangan ini tetap sama yaitu Koningsplein atau Lapangan Gambir selama masa kolonial Hindia Belanda hingga pasa pendudukan Jepang pada 1942.

Pada masa Penjajahan Jepang, lapangan ini diganti namanya menjadi "Lapangan Ikada"' (singkatan dari "Ikatan Atletik Djakarta"). Konon pada awalnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia direncanakan digelar di Lapangan Ikada, namun karena kondisi saat itu tidak memungkinkan maka pembacaan proklamasi dialihkan ke sebuah rumah di Jalan Pegangsaan (kini Jalan Proklamasi lokasi menjadi Tugu Proklamasi). Pada 19 September 1945, Sukarno menyampaikan pidatonya di Lapangan Ikada. Pidatonya yang menyarakan kemerdekaan Indonesia dan menentang kolonialisme, imperialisme, dan penjajahan ini disampaikan di depan Rapat Akbar yang dihadiri banyak massa.

Sukarno mengganti nama Lapangan Ikada menjadi "Medan Merdeka". Sukarno menginginkan rakyat Indonesia yang baru saja merdeka memiliki sesuatu simbol yang menjadi kebanggaan bangsa, sebuah monumen untuk memperingati perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Maka ia memprakarsai pembangunan Monumen Nasional (Monas) pada 1961. Bangunan stadion dan lintasan atletik di lapangan ini dibongkar untuk memberi tempat bagi pembangunan monumen ini. Medan Merdeka dilintasi oleh empat jalan silang diagonal yang membentuk silang "X" dengan Monas berdiri tepat ditengahnya. Jalan ini disebut "Jalan Silang Monas" yang membagi Taman Medan Merdeka menjadi empat bagian: Utara, Timur, Selatan, dan Barat.

Taman Medan Merdeka Utara, Timur, dan Barat tetap berfungsi sebagai taman, sementara Taman Medan Merdeka Selatan dibangun menjadi kompleks bangunan untuk pameran yang digunakan sebagai lokasi Pekan Raya Jakarta dari tahun 1968 hingga 1992, sementara sudut barat daya Taman Medan Merdeka Selatan dijadikan "Taman Ria Jakarta".

Desain dan rancangan tapak taman tetap sama sejak dekade 70-an hingga pertengahan dekade 90-an. Mulai pertengahan tahun 90-an pemugaran Medan Merdeka mulai berlangsung hingga tahun 2000-an hingga menjadi kondisi seperti saat ini. Tujuan pemugaran ini adalah untuk mengembalikan fungsi Taman Medan Merdeka sebagai kawasan terbuka hijau. Pada awal dekade 90-an Arena Pekan raya Jakarta dan Taman Ria Monas di Medan Merdeka Selatan dibongkar dan dikembalikan menjadi ruang terbuka hijau. Jalan Silang Monas yang pada awalnya berfungsi sebagai lalu lintas kota kini tertutup bagi kendaraan bermotor seiring pembangunan pagar di sekeliling Medan Merdeka.

Rancangan:
Rancangan Medan Merdeka pada dasarnya mengikuti pola tapak awal yang telah dibuat sejak dekade 60-an, yakni persilangan jalan diagonal yang membagi Medan Merdeka menjadi empat bagian serta ditengahnya berdiri Monas. Pemugaran pada pertengahan dekade 90-an adalah untuk persiapan upacara peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka pada 1995. Renovasi ini terus berlangsung hingga dekade 2000-an.

Renovasi ini dirancang untuk menjauhkan jalan melingkar dari dasar Monas, hal ini karena saat itu dikhawatirkan getaran dari kendaraan yang melintas akan merusak fondasi Monas. Akan tetapi kemudian diputuskan bahwa kendaraan bermotor dilarang untuk memasuki kawasan Medan Merdeka sekitar Monas. Jalan aspal di sekeliling Monas diganti dengan jalan dari susunan batu alam bergaya Perancis dan menciptakan plaza (lapangan) luas di sekeliling monumen.

Medan Merdeka terdiri atas dua zona:

1. Taman Medan Merdeka. Pada zona ini terdapat pohon pelindung besar, taman, kolam pantulan serta air mancur. Zona ini membentang dari pagar pembatas di tepi Medan Merdeka hingga lajur pejalan kaki di sekeliling Taman Medan Merdeka.
2. Ruang Agung. Ini adalah kawasan yang bertujuan memperkuat kesan keagungan saat memandang Monumen Nasional. Tidak boleh ada pohon besar atau hambatan visual lainnya di zona ini. Zona ini membentang dari jalur pejalan kaki yang melingkari Monas hingga ke bangunan Monumen Nasional. Zona ini terdiri dari lapangan rumput, plaza dari susunan batu, serta taman di sekeliling Monas yang dipenuhi bunga dan tanaman hias beraneka warna.

Terdapat empat taman di Medan Merdeka sesuai arah mata angin:

1. Taman Medan Merdeka Utara. Pintu masuk ke terowongan yang akan membawa pengunjung ke Monas terletak di Taman Medan Merdeka Utara. Patung Pangeran Diponegoro tengah menunggang kuda dan patung dada pujangga Indonesia Chairil Anwar juga terletak di taman ini.

2. Taman Medan Merdeka Timur. Stasiun Gambir terletak di kawasan taman ini. Kolam pantul dan patung Kartini sumbangan pemerintah Jepang yang semula terletak di depan Taman Suropati, Menteng, kini terletak di taman ini.

3. Taman Medan Merdeka Selatan. Kolam pantul dan patung pembawa bendera bernuansa nasionalistik terletak disini. Di sudut tenggara terdapat kandang rusa tutul. Di Taman Medan Merdeka Selatan terdapat pohon langka dan unik yang menjadi simbol yang mewakili 33 Provinsi di Indonesia. Lapangan parkir IRTI untuk pengunjung Monas juga terletak di kawasan ini.

4. Taman Medan Merdeka Barat. Atraksi air mancur "menari" yang disinari lampu beraneka warna terdapat di Taman Medan Merdeka Barat. Pertunjukan air mancur dengan iringan musik ini digelar tiap malam akhir pekan.

Di sekitar Medan Merdeka:
Medan Merdeka adalah jantung Jakarta sekaligus pusat Indonesia. Banyak terdapat bangunan penting pemerintahan dan budaya mengelilingi taman pusat Jakarta ini.

Utara:
* Sekretarian Negara dan Bina Graha
* Istana Merdeka
* Mahkamah Agung
* Kementerian Dalam Negeri
* Markas Besar Angkatan Darat
* Masjid Istiqlal (sudut timur laut)

Timur:
* Stasiun Gambir
* Kantor Pusat Pertamina
* Markas Besar Kostrad
* Gereja Immanuel
* Galeri Nasional

Selatan:
* Kedutaan Besar Amerika Serikat
* Istana Wakil Presiden
* Balai kota Jakarta dan kantor Gubernur DKI Jakarta
* Kementerian Badan Usaha Milik Negara (bekas Kantor Pusat Garuda Indonesia)

Barat:
* Kantor Pusat Indosat
* Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
* Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia
* Museum Nasional Indonesia
* Kementerian Komunikasi dan Informasi
* Kementerian Perhubungan
* Mahkamah Konstitusi
* Radio Republik Indonesia

SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/Medan_Merdeka

Comments

Popular posts from this blog

Rute Bus Kota "PPD" Reguler Jaman Dulu

PPD Reguler 10 Jurusan : Terminal Blok M - Terminal Senen. Rute: Terminal Blok M - Radio Dalam - Velbak - Sudirman - Thamrin - Monas - Harmoni - Pasar Baru - Terminal Senen - Tripoli - Pejambon - Gambir - Monas - Dukuh Atas - Thamrin - Sudirman - Pakubuwono - Taman Puring. PPD Reguler 11 Jurusan : Terminal Blok M - Pejambon Rute : Terminal Blok M - Kyai Maja - Barito - Velbak - Pakubuwono - Hang Lekir - Jenderal Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat Raya - Kwini II - Pejambon PPD Reguler 12 Jurusan : Terminal Blok M - Lapangan Banteng Utara Rute : Terminal Blok M - Iskandarsyah - Senopati - Bundaran Senayan - Jenderal Sudirman - Hotel Indonesia - MH. Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - IR. H. Juanda - Jl. Pos - Gedung Kesenian - Lapangan Banteng Utara PPD Reguler 13 Jurusan : Terminal Lebak Bulus - Pejambon Rute : Terminal Lebak Bulus - RS Fatmawati - Wijaya II - Wijaya I - Senopati - Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat

Sepenggal Kisah Tragedi Boedoet Kelabu 1989

Ini sepenggal kisah pribadi yang terjadi 20 tahun yang lalu di awal bulan Oktober 1989 di jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Bukan bermaksud untuk menguak kembali luka lama yang telah berlalu, tapi ini hanya sebuah cermin bagi generasi-generasi berikutnya untuk lebih menghargai arti sebuah persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa. Sebagai salah seorang siswa baru di SMA Negeri 1, saya termaksud orang yang dapat berbangga hati karena dapat diterima disebuah sekolah favorit yang isinya memang banyak dari kalangan anak-anak borju dan pejabat. Mungkin diantara ratusan murid SMA 1 hanya sayalah yang kere dan tak pernah bisa berdandan rapi. Penampilan saya lebih banyak meniru tokoh novel remaja yang ngetop saat itu, Lupus. Baju selalu dikeluarkan dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Kedua lengan baju digulung walaupun tak berotot, tas dengan tali yang panjang sampai sebatas paha, sepatu capung alias Butterfly dan tak lupa celana abu-abu yang sudah dekil karena sudah semi

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah “Entuh (pertemuan Kali Bekasi dengan Kalimalang / Kali Tarum Barat) dulu, kali prempuan ama kali lakian ga pernah nyatu, baru karang-karang enih aja nyatunya.” (“Itu dahulu, kali perempuan dengan kali lelaki tidak pernah bersatu, baru sekarang ini saja bersatunya”). Begitulah yang digambarkan nenek saya ketika bercerita tentang Kali Bekasi dan Kali Tarum Barat atau sering dikenal dengan nama Kalimalang. Kali Bekasi yang mengaliri air dengan deras meliuk-liuk gagah seperti jalan ular dari hulunya di selatan yang berada di pegunungan di Bogor sampai ke muaranya di laut utara Jawa, diidentikkan dengan sosok laki-laki. Sedang kali buatan Kali Tarum Barat (Kalimalang) yang begitu tenang mengaliri air dari Waduk Jatiluhur di sebelah timur ke barat di Bekasi dan Jakarta, digambarkan dengan sosok perempuan. Menurut cerita nenek, awalnya air Kalimalang dengan air Kali Bekasi diceritakan “ga bisa dikawinin” (“tida