Skip to main content

Kampung Senen

Senen merupakan salah satu kampung tua di wilayah DKI Jakarta. Semula luas wilayah kampung Senen mencapai 150 ha meliputi daerah Pasar Baru, Kwitang, Senen dan Gunung Sahari. Dengan adanya perluasan dan perkembangan kota Jakarta, Senen secara administratif menjadi suatu kelurahan dengan luas wilayah 79,2 ha terdiri dari 4 RW dan 51 RT.

Adapun batas wilayah kelurahan Senen adalah sebagai berikut :
- Sebelah utara dibatasi oleh jalan Gunung Sahari, jalan Senen Raya IV dan jalan Pejambon;
- Sebelah timur dibatasi pintu kereta api yaitu Bungur Besar;
- Sebelah selatan dibatasi jalan Kramat Bunder dan jalan Prapatan;
- Sebelah barat dibatasi sungai Ciliwung.

Menurut catatan sejarah, nama Senen diambil dari nama pasar yaitu Senin. Semula daerah Senen berupa rawa dan belukar. Dengan adanya perkembangan perekonomian dan melimpahnya hasil-hasil perkebunan, maka timbulah niat Justinus Vinck untuk mendirikan pasar. Setelah mendapatkan ijin dari pemerintah Hindia Belanda melalui Gubernur Abraham Petrus pada tanggal 30 Agustus 1735 tanah tersebut dijual oleh Vinck kepada Mossel. Di sekitar pasar Senen dibuat sebuah kanal untuk menghindari banjir di daerah ini. Kanal tersebut sekarang terkenal dengan nama Kalilio. Setelah Mossel meninggal, pasar Senen diambil oleh Gubernur Van der Parra, dan pasar Senen semakin ramai. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kios-kios dan bangunan di dalam pasar sebanyak 228 petak bangunan terbuat dari bambu dan yang terbuat dari atap rumbia sejumlah 139 bangunan. Mula-mula hari pasarnya adalah hari Senen, kemudian ditambah yaitu hari Senen dan hari Jum'at. Karena kemajuan serta perkembangan perekonomian yang semakin pesat maka pasar Senen dibuka setiap hari. Nama Senen mula-mula dari nama hari, berlanjut menjadi nama pasar, kemudian nama kampung, nama kelurahan, malahan menjadi nama kecamatan yaitu kecamatan Senen wilayah Jakarta Pusat.

Di daerah Senen selain dibangun pasar, juga dibangun komplek militer di sepanjang jalan Kenanga, Kwini hingga sampai ke Lapangan Waterloop yang sekarang dikenal dengan Lapangan Banteng. Di tempat itu juga didirikan perumahan opsir-opsir Belanda dan gedung-gedung milik tuan tanah. Sedangkan di jalan Gunung Sahari sepanjang kali Ciliwung banyak dikalangan pejabat-pejabat Belanda mendirikan bangunan sebagai tempat peristirahatan, sehingga sekitar abad ke 18 wilayah tersebut merupakan daerah elit.

Adanya berbagai fasilitas tersebut daerah Senen mulai banyak didatangi orang dan diantaranya kalangan pedagang Cina. Kemungkinan besar pedagang-pedagang Cina itulah sebagai penghuni pertama daerah Senen dan hal ini terlihat adanya beberapa nama jalan di daerah itu yang berbau nama Cina misalnya : seperti jalan, gang Tjap Go Keng yang terletak di sebelah barat proyek Senen blok I.

Di Jalan Senen Raya III terdapat sebuah toko yang bernama Lauw Tjin. Dahulu toko tersebut menjual barang-barang kelontong dan kulit. Di Gang Tjap Go Keng dulunya terdapat rumah dengan 15 pintu dengan penghuninya terdiri dari orang-orang Cina perantauan. Tidak jauh dari tempat itu yaitu di Jalan Pasar Senen No. 166 terdapat hotel Yoe yang kemudian dikenal dengan toko Gai Soen. Demikian pula di Jalan Senen Raya No. 135 terdapat hotel Tien Euw yang kemudian sebagai kantor PT Pembangunan Sarana Jaya. Dengan adanya perkembangan daerah Senen yang pesat, maka berpengaruh terhadap jumlah penduduknya dan menurut catatan kelurahan Senen tahun 1954 penduduk senen telah mencapai 4.500 jiwa yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Tiga puluh tahun kemudian jumlah angka penduduk tersebut dua kali lipat lebih. Sebagaimana telah tercatat pada data Kelurahan Senen bulan Maret 1985 jumlah penduduk Senen mencapai 10.804 jiwa orang.

Senen pada mulanya sebagai pusat perdagangan atau pasar dan kemudian berkembang secara berangsur-angsur menjadi suatu perkampungan. Banyak para pendatang dari luar Jakarta masuk ke kampung itu untuk mengadu nasibnya dengan bekerja baik sebagai pegawai pemerintah maupun wiraswasta.

Penduduk Senen juga tidak ketinggalan dalam hal pendidikan karena selain didukung oleh faktor ekonomi yang mapan juga, tempat-tempat pendidikan yang memadai. Yang paling utama ialah bahwa mereka telah sadar bahwa pendidikan sangat penting untuk mencapai tujuan.

Disamping pengadaan pendidikan formal juga banyak bermunculan pendidikan non formal. Pendidikan non formal yang berupa keterampilan-keterampilan diusahakan oleh ibu-ibu PKK kelurahan Senen maupun PKK RW serta Dasa Wismanya, yang bekerjasama dengan penilik pendidikan masyarakat Kanwil Depdikbud DKI Jakarta.

Sebagai mana masyarakat didaerah-daerah lain maka masyarakat kampung Senen adalah masyarakat agamis dengan memeluk berbagai agama. Toleransi dan kerukunan masyarakat yang berlainan agama dapat dilihat dan dibuktikan dengan toleransi mereka terhadap agama lain. Di Senen terkenal dengan istilah INATAB yaitu lslam, Nasrani, Tionghoa, Budha. Selain agama diatas ada juga yang melakukan pemujaan terhadap tempat keramat. Mayoritas penduduk senen menganut agama Islam. untuk meningkatkan kegiatan pendidikan agama Islam diadakan pengajian baik bagi anak-anak, ibu-ibu dan Bapak-bapak. Juga setiap tahun selalu memperingati hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad SAW dan peringatan Isra' Mi'raj, peringatan 1 Muharam dan pengadaan Tilawatil Qur'an terutama pada bulan Ramadhan. Sarana peribadatan di kelurahan senen adalah Masjid 4 buah, Mushollah 5 buah dan wihara 2 buah.

Masyarakat kampung Senen terdiri dari berbagai suku bangsa. Selain dari masyarakat Betawi terdapat pula masyarakat Cina, India dan hampir semua suku di Indonesia ada disini. Keragaman penduduk yang tinggal di Senen menyebabkan adanya keragaman sosial budaya masyarakatnya. Adapun tradisi yang dilakukan oleh masyarakat yaitu upacara nujuh bulan.

Masa hamil pertama adalah masa yang paling mendebarkan bagi seorang perempuan karena pengalamannya dalam melahirkan baru akan terjadi pertama kali. Bagi apa saja yang dianjurkan oleh orang lain mau dilaksanakannya meskipun anjuran itu tidak rasional. Menurut informan R.M. Arbai bahwa pada masa lalu di daerah Senen sering dilakukan menggantung alat-alat seperti gunting kecil serta ramuan seperti bumbu dapur yang disimpan di dada. Begitu pula ada pantangan-pantangan yang memang menimbulkan akibat kalau tidak dilaksanakan seperti dilarang membunuh binatang, mencela orang cacat dan sebagainya. Hal ini mengandung harapan agar si bayi kelak lahir dalam keadaan selamat tanpa cacat.

Bagi calon ibu yang pertama kali hamil diselenggarakan upacara nujuh bulan. Biasanya dihidangkan rujak yang terdiri dari berbagai macam buah-buahan dan sebelumnya didahului oleh upacara mandi air kembang tujuh rupa. Disini yang sangat berperanan adalah sang dukun. Kebiasaan semacam ini hampir merata dikalangan masyarakat Jakarta. Pada waktu sang ibu melahirkan, biasanya ari-ari bayi sebelum dikuburkan oleh ayahnya terlebih dahulu diberi ramuan kembang tujuh rupa. Si bayi yang lahir diadzankan ditelinga kanan dan diqomatkan di telinga kiri.

Satu minggu kemudian diadakan sedekahan puputan dan pemberian nama dan kalau mampu mereka melaksanakan aqeqah yaitu bagi bayi laki-laki harus memotong kambing 2 ekor dan anak perempuan memotong kambing 1 ekor dan ini dilakukan oleh orang Islam.

Di sebelah jalan pasar Senen nomor 150 terdapat sebuah makam yang dikeramatkan yaitu kramat ayam. Di tengah-tengah makam tersebut terdapat sebuah batu yang berbentuk seperti cetakan yang berukuran 35 x 22 cm, dengan tulisan huruf Tionghoa dan siapa orang dikuburkan ditempat itu sampai sekarang belum jelas. Tetapi kuburan tersebut selalu didatangi oleh penziarah, karena mereka memotong ayam. Pemerintah Belanda berkali-kali ingin memindahkan makam ini tetapi selalu gagal. Akhirnya meminta bantuan kepada Musanif yang tinggal di Gang Sentiong. Musaniflah yang berhasil memindahkan kramat ayam ini ke jalan pasar Senen Dalam II pada tahun 1921.

Referensi : Kampung Tua di Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, 1993.
Sumber : diskominfomas
co-pas: http://www.jakarta.go.id/v70/index.php/en/kampung-tua/467-kampung-senen

Comments

Popular posts from this blog

Rute Bus Kota "PPD" Reguler Jaman Dulu

PPD Reguler 10 Jurusan : Terminal Blok M - Terminal Senen. Rute: Terminal Blok M - Radio Dalam - Velbak - Sudirman - Thamrin - Monas - Harmoni - Pasar Baru - Terminal Senen - Tripoli - Pejambon - Gambir - Monas - Dukuh Atas - Thamrin - Sudirman - Pakubuwono - Taman Puring. PPD Reguler 11 Jurusan : Terminal Blok M - Pejambon Rute : Terminal Blok M - Kyai Maja - Barito - Velbak - Pakubuwono - Hang Lekir - Jenderal Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat Raya - Kwini II - Pejambon PPD Reguler 12 Jurusan : Terminal Blok M - Lapangan Banteng Utara Rute : Terminal Blok M - Iskandarsyah - Senopati - Bundaran Senayan - Jenderal Sudirman - Hotel Indonesia - MH. Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - IR. H. Juanda - Jl. Pos - Gedung Kesenian - Lapangan Banteng Utara PPD Reguler 13 Jurusan : Terminal Lebak Bulus - Pejambon Rute : Terminal Lebak Bulus - RS Fatmawati - Wijaya II - Wijaya I - Senopati - Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat

Sepenggal Kisah Tragedi Boedoet Kelabu 1989

Ini sepenggal kisah pribadi yang terjadi 20 tahun yang lalu di awal bulan Oktober 1989 di jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Bukan bermaksud untuk menguak kembali luka lama yang telah berlalu, tapi ini hanya sebuah cermin bagi generasi-generasi berikutnya untuk lebih menghargai arti sebuah persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa. Sebagai salah seorang siswa baru di SMA Negeri 1, saya termaksud orang yang dapat berbangga hati karena dapat diterima disebuah sekolah favorit yang isinya memang banyak dari kalangan anak-anak borju dan pejabat. Mungkin diantara ratusan murid SMA 1 hanya sayalah yang kere dan tak pernah bisa berdandan rapi. Penampilan saya lebih banyak meniru tokoh novel remaja yang ngetop saat itu, Lupus. Baju selalu dikeluarkan dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Kedua lengan baju digulung walaupun tak berotot, tas dengan tali yang panjang sampai sebatas paha, sepatu capung alias Butterfly dan tak lupa celana abu-abu yang sudah dekil karena sudah semi

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah “Entuh (pertemuan Kali Bekasi dengan Kalimalang / Kali Tarum Barat) dulu, kali prempuan ama kali lakian ga pernah nyatu, baru karang-karang enih aja nyatunya.” (“Itu dahulu, kali perempuan dengan kali lelaki tidak pernah bersatu, baru sekarang ini saja bersatunya”). Begitulah yang digambarkan nenek saya ketika bercerita tentang Kali Bekasi dan Kali Tarum Barat atau sering dikenal dengan nama Kalimalang. Kali Bekasi yang mengaliri air dengan deras meliuk-liuk gagah seperti jalan ular dari hulunya di selatan yang berada di pegunungan di Bogor sampai ke muaranya di laut utara Jawa, diidentikkan dengan sosok laki-laki. Sedang kali buatan Kali Tarum Barat (Kalimalang) yang begitu tenang mengaliri air dari Waduk Jatiluhur di sebelah timur ke barat di Bekasi dan Jakarta, digambarkan dengan sosok perempuan. Menurut cerita nenek, awalnya air Kalimalang dengan air Kali Bekasi diceritakan “ga bisa dikawinin” (“tida