Skip to main content

Gedung Pos Jakarta, Saksi Bisu Korespondensi Masa Lalu (Kantoor Post, Telegraaf en Telefoon)

Jauh sebelum internet berkembang seperti saat ini, sejarah korespondensi di Indonesia, khususnya Jakarta telah dimulai sejak tahun 1913. Tepatnya seiring dengan dibangunnya Gedung Filateli atau Kantor Pos Besar di Jl Pasar Baru oleh arsitek Belanda John van Hoytema.

Keberadaan gedung Kantor Pos ini sangat berkaitan dengan sejarah kawasan Weltervreden yang menjadi pusat kota Batavia, pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels. Bentuknya yang lebar dan beratap tinggi, jelas menyiratkan adanya unsur arsitektur Eropa kuno saat itu.

Seperti kebiasaan saat itu, keberadaan Gedung Kantor Pos pun akhirnya dijadikan nama jalan untuk area jalan yang ada di depan gedung tersebut, dengan menyebut Post Weg atau Jl Pos. Karena lokasinya yang strategis, Post Weg digunakan sebagai jalur transportasi darat dari Kota Tua menuju ke pusat kota Weltervreden. Namun, seiring perkembangan zaman pada masa pemerintahan di bawah kekuasaan Daendels, gedung ini akhirnya digunakan sebagai kantor pengiriman barang.

Bahkan, saat perang perebutan kemerdekaan gedung pengiriman barang ini sempat dijadikan gedung pertahanan Belanda terhadap gempuran gerilyawan pribumi yang ingin masuk ke pusat pemerintahan di Weltervreden yang berada di Lapangan Banteng sekarang.

Hingga pada awal kemerdekaan, gedung ini digunakan untuk pelayanan pos, telepon, dan telegraph. Seiring perkembangan zaman, gedung Kantor Pos dan Giro itu digunakan sebagai gedung Kantor Pelayanan Filateli yang merupakan kantor pusat Filateli Indonesia.

Edhi Marhadi, anggota Pemerhati Pelestarian Bangunan Bersejarah Jakarta menuturkan, meski Gedung Filateli itu sudah tiga kali direnovasi, hingga kini bentuk bangunan aslinya masih dipertahankan Pemprov DKI.

“Keberadaan bangunan itu tetap terawat, menandakan komitmen Pemprov DKI terhadap bangunan cagar budaya sangat tinggi. Ini patut dihargai dan diberikan apresiasi setinggi-tingginya,” katanya, Jumat (18/12).

SUMBER: http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=36669



Comments

Popular posts from this blog

Rute Bus Kota "PPD" Reguler Jaman Dulu

PPD Reguler 10 Jurusan : Terminal Blok M - Terminal Senen. Rute: Terminal Blok M - Radio Dalam - Velbak - Sudirman - Thamrin - Monas - Harmoni - Pasar Baru - Terminal Senen - Tripoli - Pejambon - Gambir - Monas - Dukuh Atas - Thamrin - Sudirman - Pakubuwono - Taman Puring. PPD Reguler 11 Jurusan : Terminal Blok M - Pejambon Rute : Terminal Blok M - Kyai Maja - Barito - Velbak - Pakubuwono - Hang Lekir - Jenderal Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat Raya - Kwini II - Pejambon PPD Reguler 12 Jurusan : Terminal Blok M - Lapangan Banteng Utara Rute : Terminal Blok M - Iskandarsyah - Senopati - Bundaran Senayan - Jenderal Sudirman - Hotel Indonesia - MH. Thamrin - Merdeka Barat - Majapahit - IR. H. Juanda - Jl. Pos - Gedung Kesenian - Lapangan Banteng Utara PPD Reguler 13 Jurusan : Terminal Lebak Bulus - Pejambon Rute : Terminal Lebak Bulus - RS Fatmawati - Wijaya II - Wijaya I - Senopati - Sudirman - Imam Bonjol - Diponegoro - Salemba Raya - Kramat

Sepenggal Kisah Tragedi Boedoet Kelabu 1989

Ini sepenggal kisah pribadi yang terjadi 20 tahun yang lalu di awal bulan Oktober 1989 di jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Bukan bermaksud untuk menguak kembali luka lama yang telah berlalu, tapi ini hanya sebuah cermin bagi generasi-generasi berikutnya untuk lebih menghargai arti sebuah persatuan dan kesatuan diantara sesama anak bangsa. Sebagai salah seorang siswa baru di SMA Negeri 1, saya termaksud orang yang dapat berbangga hati karena dapat diterima disebuah sekolah favorit yang isinya memang banyak dari kalangan anak-anak borju dan pejabat. Mungkin diantara ratusan murid SMA 1 hanya sayalah yang kere dan tak pernah bisa berdandan rapi. Penampilan saya lebih banyak meniru tokoh novel remaja yang ngetop saat itu, Lupus. Baju selalu dikeluarkan dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Kedua lengan baju digulung walaupun tak berotot, tas dengan tali yang panjang sampai sebatas paha, sepatu capung alias Butterfly dan tak lupa celana abu-abu yang sudah dekil karena sudah semi

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah

Pemisahan Aliran Kali Bekasi dan Kalimalang, Memisahkan antara Anugrah dan Musibah “Entuh (pertemuan Kali Bekasi dengan Kalimalang / Kali Tarum Barat) dulu, kali prempuan ama kali lakian ga pernah nyatu, baru karang-karang enih aja nyatunya.” (“Itu dahulu, kali perempuan dengan kali lelaki tidak pernah bersatu, baru sekarang ini saja bersatunya”). Begitulah yang digambarkan nenek saya ketika bercerita tentang Kali Bekasi dan Kali Tarum Barat atau sering dikenal dengan nama Kalimalang. Kali Bekasi yang mengaliri air dengan deras meliuk-liuk gagah seperti jalan ular dari hulunya di selatan yang berada di pegunungan di Bogor sampai ke muaranya di laut utara Jawa, diidentikkan dengan sosok laki-laki. Sedang kali buatan Kali Tarum Barat (Kalimalang) yang begitu tenang mengaliri air dari Waduk Jatiluhur di sebelah timur ke barat di Bekasi dan Jakarta, digambarkan dengan sosok perempuan. Menurut cerita nenek, awalnya air Kalimalang dengan air Kali Bekasi diceritakan “ga bisa dikawinin” (“tida