
“Entuh (pertemuan Kali Bekasi dengan Kalimalang / Kali Tarum Barat) dulu, kali prempuan ama kali lakian ga pernah nyatu, baru karang-karang enih aja nyatunya.” (“Itu dahulu, kali perempuan dengan kali lelaki tidak pernah bersatu, baru sekarang ini saja bersatunya”). Begitulah yang digambarkan nenek saya ketika bercerita tentang Kali Bekasi dan Kali Tarum Barat atau sering dikenal dengan nama Kalimalang. Kali Bekasi yang mengaliri air dengan deras meliuk-liuk gagah seperti jalan ular dari hulunya di selatan yang berada di pegunungan di Bogor sampai ke muaranya di laut utara Jawa, diidentikkan dengan sosok laki-laki. Sedang kali buatan Kali Tarum Barat (Kalimalang) yang begitu tenang mengaliri air dari Waduk Jatiluhur di sebelah timur ke barat di Bekasi dan Jakarta, digambarkan dengan sosok perempuan.
Menurut cerita nenek, awalnya air Kalimalang dengan air Kali Bekasi diceritakan “ga bisa dikawinin” (“tidak bisa disatukan”), padahal kedua aliran kali ini bertemu di daerah Bekasi, tepatnya di pintu air Jalan Hasibuan, dekat Giant Bekasi. Tentu siapa pun jika berpikir dengan logika, mustahil jika di pertemuan dua aliran sungai, air dari kedua aliran sungai tersebut tidak menyatu. Tapi kita bisa berpikir terbalik atas keraguan itu jika membaca berita tentang “Aliran Sungai Bekasi dan Kalimalang Bakal Dipisah”, berita sekitar November 2009 yang diberitakan baik di media cetak maupun media online saat itu.
Dua alasan pemisahan kedua aliran sungai ini, pertama untuk mengatasi terjadinya banjir kiriman dari Bogor, yang terjadi banjir terparah pada tahun 2002 dan 2007. Dan alasan kedua menyelamatkan sumber air Kalimalang sebagai air baku air bersih untuk masyarakat Jakarta dan Bekasi.
Saya teringat kembali cerita itu ketika tidak sengaja melakukan pencitraan dengan Google Map, di saat pencitraan dengan skala 20 meter dari atas di pertemuan Kali Bekasi dengan Kalimalang, aliran dari Kalimalang (kali perempuan) seperti tidak ingin bersatu dengan aliran Kali Bekasi (kali laki-laki), aliran Kali Bekasi yang lebih lebar dan sejak awal tahun ini begitu derasnya mengalir dari Bogor (padahal di waktu musim kering), seperti mengalah dengan aliran Kalimalang yang lebih kecil dan tenang aliran airnya.
Ada beberapa cerita berupa mitos tentang kedua kali ini, masing-masing bisa mengartikan sendiri maksud dari cerita-cerita tersebut, baik dari cara berpikir rasional maupun irasional. Saya hanya berbagi tentang histori, sosial dan lingkungan yang berkenaan dengan keberadaan Kali Bekasi dan Kalimalang.
Kali Bekasi, dari Dahulu sampai Sekarang
Berdasarkan data sejarah kepurbakalaan, Kali Bekasi telah ada di abad ke-5 masehi, tepatnya di zaman Kerajaan Tarumanegara yang diperkirakan berada di sekitar Bekasi. Data tersebut termuat di Prasasti Tugu yang pertama kali ditemukan secara ilmiah pada 1878 di kampung Tugu, Cilincing, Bekasi (sejak 1970-an Cilincing masuk ke dalam wilayah DKI Jakarta). Isi dari prasasti menerangkan adanya penggalian Sungai Candrabaga (Bhagasasi = Bhagasi = Bekasi) oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
Jika kita meyakini sumber sejarah purbakala tersebut, bisa kita kalkulasi usia keberadaan Kali Bekasi dari dahulu sampai sekarang. Keberadaan kali ini mempunyai cerita panjang, menjadi saksi bisu tentang peradaban manusia dari abad ke abad.
Negeri ini sejak dahulu dikenal dengan negeri subur dengan kekayaan melipah. Karena tanahnya yang subur, masyarakatnya mengolah tanah dengan bertani, berladang, atau berkebun sebagai sumber kehidupan. Tentulah air menjadi salah satu sumber penghidupan bagi manusia, hewan serta tumbuhan, dan manfaat lainnya sebagai sumber irigasi atau pengairan sawah. Dari Prasasti Tugu yang menceritakan raja-raja Tarumanegara menggali sungai tersebut menyiratkan makna bagaimana pemimpin memperhatikan air sebagai kebutuhan rakyatnya. Bagi sawah, sungai adalah salah satu sumber pengairan yang memasok air ke dalamnya. Tergambar bagaimana teknologi pengairan di masa itu dengan memanfaatkan aliran air dari sungai untuk kebutuhan hidup manusia, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun sebagai salah satu sumber untuk bercocok tanam. Begitu peduli penguasa akan pengolahan dan pemanfaatan air sebagai anugerah tak terkira dari Sang Pencipta, sehingga dijadikan sebagai sumber pengairan dan penghidupan. Cobalah perhatikan di daerah pertanian, di mana ada aliran air baik dari sungai kecil atau besar, di situ ada persawahan.
Lain dulu lain sekarang, jika dahulu aliran air di sungai sebagai anugerah sekarang malah menjadi salah satu sumber musibah atau bencana. Sungai / kali kini menjadi penyebab banjir, airnya tercemar oleh limbah-limbah industri dan rumah tangga, sehingga berbahaya untuk makhluk hidup. Dengan alasan menghemat anggaran produksi industri, aliran sungai dijadikan tempat pembuangan limbah, bahkan limbah beracun yang dapat merusak keberlangsungan ekosistem sungai, termasuk di dalamnya hewan, tumbuhan dan manusia. Tempat pembuangan sampah atau limbah rumah tangga menjadi salah satu sumber penyebab bencana banjir. Itulah kenyataan yang terjadi sekarang.
Kalimalang dan Jatiluhur, Sebuah Karya Luhur
Comments
Post a Comment